BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masnusia yang terlahir sebagai khalifah di bumi tentu mempunyai
tanggung jawab besar untuk memaksimalkan peran-perannya dalam mewujudkan misi
kehidupan yang disematkan dalam pundaknya sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk
sosial, manusia tentunya tidak bisa hidup sendiri melainkan perlu berinteraksi
dengan manusia lainnya, karenanya itu dalam berinteraksi manusia dimungkinkan
akan menemui sebuah persoalan di mana pada suatu kondisi apa yang diharapkan
tidak sesuai atau menemui pertentangan dengan manusia lainnya, yang dalam hal
ini dinamakan konflik. Seperti yang
dikatakan salah satu teori dari Karl Marx yang melihat masyarakat manusia
sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik.
Kalau kita melihat dari teori tersebut, bias kita simpulkan bahwa kita sebagai
masyarakat tidak bisa menghindari adanya konflik yang pastinya akan terjadi di
kehidupan kita.[1]
Jika konflik terjadidan tidak ditangani dengan
baik maka akan menimbulkan konflik lainnnya yang memungkinkan akan menjadi
penghambat dalam melakukan atau mencapai sebuah tujuan. Untuk itu konflik
seyogyanya bukan dihindari melainkan diselesaikan karena pada dasarnya manusia
tidak lepas dari konflik. Konflik disebabkan oleh berbagai hal baik faktor
internal/individu manusia itu sendiri maupun oleh faktor lain, terlebih dalam
sebuah organisasi sangat dimungkinakn akan menemui berbagai konflik karena
didalam organisasi terdapat beragam pemikiran dan latar belakang yang
berbeda-beda yang memungkinkan memunculkan perbedaan maupun konflik. Konflik
tidak serta merta akan membawa dampak buruk jika dikelaola dengan baik, namun
sebaliknya konflik sekecil apapun akan berdampak buruk jika dibirakan atau
tidak ditangan dengan baik. Dibawah ini akan diuraikan beberapa persoalan yang
menyebabkan konflik dan cara menyelesaikannya.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah adalah:
1.
Apa definisi dan Fungsi Manajemen?
2.
Apa itu konflik?
3.
Apa faktor terjadinya konflik?
4.
Bagaimana proses terjadinya
konflik?
5.
Bagaimana cara mengatasi konflik?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Manajemen
Secara
etimologi, manajemen berasal dari bahasa latin , dari kata manus yang
berarti tangan dan agere yang berarti melakukan. Kata-kata itu digabung
menjadi kata kerja managere yang artinya menangani. Managere diterjemahkan
ke dalam bahasa inggris dalam bentuk kata kerja to manage, dengan kata
benda management, dan manager untuk orang yang melakukan kegiatan
manajemen. Akhirnya kata management diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi manajemen atau pengelolaan.[2] Menurut Michael Armstrong,
management is the process of deciding what to do and then getting it done
through the effective use of resources[3], maksudnya yaitu manajemen adalah proses menentukan apa yang harus
dilakukan dan kemudian menyelesaikannya melalui penggunaan sumber daya secara
efektif.
Menurut
Syafruddin dalam perspektif lebih luas, manajemen adalah suatu proses
pengaturan dan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki organisasi melalui kerjasama para anggota untuk mencapai
tujuan secara efektif dan efesian.[4]
Menurut
Husaini Usman, manajemen dalam arti luas adalah perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan
efisien. Manajemen dalam arti sempit adalah manajemen sekolah atau madrasah,
yang meliputi: perencanaan program sekolah, pelaksanaan program sekolah,
kepemimpinan kepala sekolah, pengawas atau evaluasi dan sistem informasi
sekolah.[5]
Dari berbagai
pendapat tentang manajemen, dapat disimpulkan bahwa manajemen adalah usaha atau
kegiatan untuk mengatur sebuah organisasi/sumber daya untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan dengan cara yang efektif[6] dan efisien[7].
Dari
berbagai pengertian manajemen memiliki fungsi, yaitu, menurut George R.Terry
ada empat fungsi-fungsi manajemen sebagai berikut: Planning
(Perencanaan), Organizing (Pengorganisasian), Actuating
(pelaksanaan), dan Controlling (Pengendalian)[8]. Sedangkan menurut Henry
Fayol terdapat lima fungsi, yaitu : Planning (Perencanaan), Organizing (Pengorganisasian),
Comanding (pengaturan), Coordinating (pengkoordinasian). dan Controlling (Pengawasan). Sedangkan fungsi
manajemen menurut Harold Koontz dan Cyril O’Donnel ada lima, yaitu: Planning
(Perencanaan), Organizing (Pengorganisasian), Staffing(penentuan staf),
Directing (pengarahan), Controlling (Pengawasan).L.Gulick mengungkapkan ada
tujuh fungsi, yaitu: Planning (Perencanaan), Organizing (Pengorganisasian),
Staffing (penentuan staf), Directing (pengarahan), Coordinating (pengkoordinasian),
Reporting (pelaporan), dan Budgeting (penganggaran).
B.
Definisi Konflik
1.
Definisi konflik dari beberapa
pendekatan
Konflik
berasal dari kata kerja latin “Configere” yang berarti ”saling memukul”. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih yang mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya[9]. Pengertian konflik dari
aspek pendekatan sosial dikemukakan oleh Alisjahbana yang mengartikan konflik
sebagai perbedaan pendapat dan pandangan di antara kelompok-kelompok masyarakat
yang akan mencapai nilai yang sama[10].
Pengertian
konflik yang mengacu kepada pendekatan organisasi antara lain dikemukakan oleh
para pakar berikut. Luthans mengartikan konflik sebagai ketidaksesuaian nilai
atau tujuan antara anggota kelompok organisasi[11]. Sementara Winardi
mengemukakan bahwa konflik adalah oposisi atau pertentangan pendapat antara
orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi[12]. Sedarmayanti mengemukakan
konflik merupakan perjuangan antara kebutuhan, keinginan, gagasan, kepentingan
ataupun pihak saling bertentangan, sebagai akibat dari adanya perbedaan sasaran
( goals); nilai (values); pikiran (cognition); perasaan (affect); dan perilaku
(behavior)[13].
2.
Pandangan tentang konflik
Menurut Robbins
ada tiga pandangan tentang konflik, yaitu pandangan tradisional (Traditional
view of conflict), pandangan hubungan manusia (human relations view of
conflict), dan pandangan interaksonis (interacttionism view of conflict)[14].
Pandangan
tradisional menganggap semua konflik buruk. Konflik dipandang secara negatif,
dan disinonimkan dengan istilah kekerasan, perusakan dan ketidakrasionalan demi
memperkuat konotasi negatifnya. Konflik memiliki sifat dasar yang merugikan dan
harus dihindari. Pandangan tradisional ini menganggap konflik sebagai hasil
disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya keterbukaan dan
kepercayaan antara orang - orang, dan kegagalan para manajer untuk tanggap
terhadap kebutuhan dan aspirasi para karyawan.
Pandangan
hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam
semua kelompok dan organisasi. Karena konflik itu tidak terelakan, aliran
hubungan manusia menganjurkan penerimaan konflik. Konflik tidak dapat disingkirkan,
dan bahkan ada kalanya konflik membawa manfaat pada kinerja kelompok.
Sementara
pendekatan hubungan manusia menerima konflik, pendekatan interaksionis
mendorong konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai
serasi cenderung menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan
akan perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, sumbangan utama dari pendekatan
interaksionis adalah mendorong pemimpin kelompok untuk mempertahankan suatu
tingkat minimum berkelanjutan dari konflik. Dengan adanya pandangan ini menjadi
jelas bahwa untuk mengatakan bahwa konflik itu seluruhnya baik atau buruk
tidaklah tepat.
Secara
teoretik Robbins mengemukakan terdapat dua tipe konflik, yaitu konflik
fungsional dan konflik disfungsional. Konflik fungsional adalah sebuah
konfrontasi di antara kelompok yang menambah keuntungan kinerja organisasi.
Konflik disfungsional adalah setiap konfrontasi atau interaksi di antara kelompok
yang merugikan organisasi atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi[15].
Menurut James A.F. Stoner dan
Charles Wankel dalam Wirawan dikenal ada lima jenis konflik[16] yaitu:
a. Konflik Intrapersonal.
Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik
terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak
mungkin dipenuhi sekaligus.
b. Konflik
Interpersonal.Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan
orang lain karena pertentangan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering
terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan
lain-lain.Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting
dalam perilaku organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa
peranan dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempengaruhi
proses pencapaian tujuan organisasi tersebut.
c. Konflik antar
individu-individu dan kelompokkelompok. Hal ini seringkali berhubungan dengan
cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang
ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka. Sebagai contoh dapat
dikatakan bahwa seseorang individu dapat dihukum oleh kelompok kerjanya karena
ia tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas kelompok dimana ia berada.
d. Konflik antara
kelompok dalam organisasi yang sama. Konflik ini merupakan tipe konflik yang
banyak terjadi di dalam organisasiorganisasi. Konflik antar lini dan staf,
pekerja dan pekerja manajemen merupakan dua macam bidang konflik antar
kelompok.
e. Konflik antara
organisasi.Contohnya seperti di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan
negara-negara lain dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya
disebut dengan persaingan.Konflik ini berdasarkan pengalaman ternyata telah
menyebabkan timbulnya pengembangan produk-produk baru, teknologi baru dan
servis baru, harga lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara lebih
efisien.
Winardi menggambarkan
konflik ke dalam pandangan kuno dan pandangan modern tentang konflik yang
menjadi pembeda antara konflik masa lalu dan konflik masa kini dalam
organisasi.[17]
Pandangan Kuno
|
Pandangan
Modern
|
1.
Konflik dapat dihindari
2.
Konflik disebabkan karena adanya
kesalahan manajemen dalam hal mendesain dan manajemen organisasi-organisasi
atau karena adanya pengacau-pengacau
3.
Konflik merusak organisasi yang
bersangkutan dan menyebabkan tidak tercapainya hasil optimal.
4.
Tugas manajemen adalah meniadak
an konflik
5.
Agar dapat dicapai hasil
prestasi organisatoris optimal, maka konflik perlu ditiadakan
|
1.
Konflik tidak dapat dihindari
2.
Konflik muncul karena aneka
macam sebab, termasuk di dalamnya struktur organisatoris, perbedaan-perbedaan
dalam tujuan-tujuan yang tidak dapat dihindari, perbedaan-perbedaan dalam
persepsi-persepsi, serta nilai-nilai personalia yang terspesialisasi dan
sebagainya
3.
Konflik membantu, kadang -kadang
menghambat hasil pekerjaan organisatoris dengan derajat yang berbeda-beda
4.
Tugas manajemen adalah mengelola
tingkat konflik, dan pemecahannya hingga dapat dicapai hasil prestasi
organisatoris optimal
5.
Hasil pekerjaan optimal secara
organisatoris, memerlukan konflik moderate.
|
C.
Faktor Penyebab Konflik
1.
Faktor
Manusia dan perilakunya
a.
Ditimbulkan
oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya.
b.
Personil
yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku.
c.
Timbul
karena ciri-ciri kepribadian individual, antara lain sikap egoistis,
temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.
d.
Semangat
dan ambisi
e.
Berbagai
macam kepribadian
2.
Faktor
Organisasi
a.
Persaingan
dalam menggunakan sumberdaya
Apabila sumberdaya baik
berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka dapat
timbul persaingan dalam penggunaannya.Ini merupakan potensi terjadinya konflik
antar unit/departemen dalam suatu organisasi.
b.
Perbedaan
tujuan antar unit-unit organisasi.
Tiap-tiap unit dalam
organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya. Perbedaan
ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut. Misalnya, unit
penjualan menginginkan harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih
menarik konsumen, sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan
tujuan untuk memajukan perusahaan.
c.
Interdependensi
tugas.
Konflik terjadi karena
adanya saling ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari
kelompok lainnya.
d.
Perbedaan
nilai dan persepsi
Suatu kelompok tertentu
mempunyai persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak
“adil”. Para manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka mendapat
tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer senior
mendapat tugas yang ringan dan sederhana.
e.
Kekaburan
yurisdiksional.
Konflik terjadi karena
batas-batas aturan tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang
tindih.
f.
Masalah
“status”.
Konflik dapat terjadi
karena suatu unit/departemen mencoba memperbaiki dan meningkatkan status,
sedangkan unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam
posisinya dalam status hirarki organisasi.
g.
Hambatan
komunikasi.
Komunikasi sebagai media
interaksi diantara orang-orang dapat dengan mudah menjadi basis terjadinya
konflik. Bisa dikatakan komunikasi seperti pedangbermata dua: tidak adanya
komunikasi dapat menyebabkan terjadinya konflik, tetapi disisi lain, komunikasi
yang terjadi itu sendiri dapat menjadi potensi terjadinya konflik.
D.
Proses Terjadinya Konflik
Konflik merupakan proses yang
dinamis, bukannya kondisi statis. Konflik memiliki awal, dan melalui banyak
tahap sebelum berakhir. Ada banyak pendekatan yang baik untuk menggambarkan
proses suatu konflik antara lain menurut Luthans,ada 6 proses terjadinya
konflik[18], yaitu: a). Antecedent
Conditions or latent Conflict.Merupakan kondisi yang berpotensi untuk
menyebabkan, atau mengawali sebuah episode konflik. Terkadang tindakan agresip
dapat mengawali proses konflik. Atecedent conditions dapat tidak
terlihat, tidak begitu jelas di permukaan. Perlu diingat bahwa kondisi-kondisi
ini belum tentu mengawali proses suatu konflik.
Sebagai contoh, tekanan yang
didapat departemen produksi suatu perusahaan untuk menekan biaya bisa menjadi
sumber frustasi ketika manager penjualan ingin agar produksi ditingkatkan untuk
memenuhi permintaan pasar yang mendesak.Namun demikian, konflik belum tentu
muncul karena kedua belah pihak tidak berkeras memenuhi keinginannya
masing-masing. Disinilah dikatakan konflik bersifat laten, yaitu berpotensi
untuk muncul, tapi dalam kenyataannya tidak terjadi. b). Perceived Conflict.Agar
konflik dapat berlanjut, kedua belah pihak harus menyadari bahwa mereka dalam
keadaan terancam dalam batas-batas tertentu.Tanpa rasa terancam ini, salah satu
pihak dapat saja melakukan sesuatu yang berakibat negatif bagi pihak lain,
namun tidak disadari sebagai ancaman. Seperti dalam kasus dia atas, bila
manager penjualan dan manager produksi memiliki kebijaksanaan bersama dalam
mengatasi masalah permintaan pasar yang mendesak, bukanya konflik yang akan
muncul melainkan kerjasama yang baik. Tetapi jika perilaku keduanya menimbulkan
perselisihan, proses konflik itu akan cenderung berlanjut. c). Felt
Conflict.Persepsi berkaitan erat dengan perasaan. Karena itulah jika orang
merasakan adanya perselisihan baik secara aktual maupun potensial, ketegangan,
frustasi, rasa marah, rasa takut, maupun kegusaran akan bertambah. Di sinilah
mulai diragukannya kepercayaan terhadap pihak lain, sehingga segala sesuatu
dianggap sebagai ancaman, dan orang mulai berpikir bagaimana untuk mengatasi
situasi dan ancaman tersebut. d). Manifest Conflict.Persepsi dan
perasaan menyebabkan orang untuk
bereaksi terhadap situasi tersebut.Begitu banyak bentuk reaksi yang mungkin
muncul pada tahap ini adalah berbagai argumentasi, tindakan agresif, atau
bahkan munculnya niat baik yang menghasilkan penyelesaian masalah yang
konstruktif. e). Conflict Resolution or Suppression.Conflict resolution atau
hasil suatu konflik dapat muncul dalam berbagai cara. Kedua belah pihak mungkin
mencapai persetujuan yang mengakhiri konflik tersebut. Mereka bahkan mungkin
mulai mengambil langkah-langkah untuk mencegah terulangnya konflik di masa yang
akan datang. Tetapi terkadang terjadi pengacuan (suppression) dari konflik itu
sendiri.Hal ini terjadi jika kedua beJah pihak menghindari terjadintya reaksi
yang keras, atau mencoba mengacuhkan begitu saja ketika terjadi perselisihan.
Konflik juga dapat dikatakan selesai jika satu pihak berhasil mengalahkan pihak
yang lain. f). onflict Alternatif.Ketika konflik terselesaikan, tetap
ada perasaan yang tertinggal. Terkadang
perasaan lega dan harmoni yang terjadi, seperti ketika kebijaksanaan baru yang
dihasilkan dapat menjernihkan persoalan di antara kedua belah pihak dan dapat
meminimasik konflik-konflik yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Tetapi jika yang tertinggal adalah perasaan tidak enak dan ketidakpuasan, hal
ini dapat menjadi kondisi yang potensial untuk episode konflik yang selanjutnya.Pertanyaan kunci adalah apakah
pihak-pihak yang terlibat lebih dapat bekerjasama, atau malah semakin jauh
akibat terjadinya konflik.
Menurut Hendricks, W, proses
terjadinya konflik terdiri dari tiga tahap. 1) Peristiwa sehari-hari; ditandai adanya
individu merasa tidak puas dan jengkel terhadap lingkungan kerja. Perasaan
tidak puas kadang-kadang berlalu begitu saja dan muncul kembali saat individu
merasakan adanya gangguan. 2) Adanya tantangan; apabila terjadi masalah,
individu saling mempertahankan pendapat dan menyalahkan pihak lain. Tiap anggota menganggap perbuatan yang dilakukan
sesuai dengan standar dan aturan organisasi. Kepentingan individu maupun
kelompok lebih menonjol daripada kepentingan organisasi. 3) Timbulnya
pertentangan; masing-masing individu atau kelompok bertujuan untuk menang dan mengalahkan
kelompok lain. Robbins menjelaskan konflik terjadi melalui lima tahap, yaitu
tahap oposisi atau ketidakcocokan potensial; tahap kognisi dan personalisasi;
tahap maksud; tahap perilaku; dan tahap hasil.[19]
Tahap I: Oposisi atau
Ketidakcocokan Potensial
Langkah pertama dalam proses
komunikasi adalah adanya kondisi yang menciptakan kesempatan untuk munculnya
konflik itu. Kondisi itu tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah
satu kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul. Demi sederhananya,
kondisi ini (yang juga dapat dipandang sebagai kasus atau sumber konflik) telah
dimampatkan ke dalam tiga kategori umum:
komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Tahap II: Kognisi dan
Personalisasi
Jika kondisi-kondisi yang
disebut dalam Tahap I mempengaruhi secara negatif sesuatu yang diperhatikan ole
h satu pihak, maka potensi untuk oposisi atau ketidak cocokan menjadi
teraktualkan dalam tahap kedua. Kondisi anteseden hanya dapat mendorong ke
konflik bila satu pihak atau lebih dipengaruhi oleh, dan sadar akan adanya,
konflik itu. Tahap II penting karena di situlah persoalan konflik cenderung didefinisikan.
Tahap III: Maksud
Maksud berada di antara
persepsi serta emosi orang dan perilaku terang terangan mereka. Maksud
merupakan keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Dapat diidentifikasikan lima maksud penanganankonflik:
bersaing (tegas dan tidak kooperatif), berkolaborasi (tegas dan kooperatif),
menghindari (tidak tegas dan tidak kooperatif), mengakomodasi (kooperatif dan
tidak tegas), dan berkompromi (tengah-tengah dalam hal ketegasan dan kekooperatifan)
Tahap IV: Perilaku
Perilaku konflik ini biasanya
secara terang terangan berupaya untuk melaksanakan maksud-maksud setiap pihak.
Tetapi perilaku-perilaku ini mempunyai suatu kualitas rangsangan yang terpisah
dari maksud. Sebagai hasil perhitungan atau tindakan yang tidak terampil,
kadangkala perilaku terang-terangan menyimpang dari maksud-maksud yang orsinil.
Tahap V: Hasil
Jalinan aksi-reaksi antara
pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan konsekuensi. Hasil ini dapat berupa fungsional,
dalam arti konflik itu menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau
disfungsional dalam arti merin-tangi kinerja kelompok.
Tabel Proses terjadinya
konflik menurut Robbins
E.
Sumber-sumber Konflik Dalam
Organisasi
Konflik dalam organisasi tidak
terjadi secara alamiah dan terjadi bukan tanpa sumber penyebab. Penyebab
terjadinya konflik pada setiap organisasi sangat bervariasi tergantung pada
cara individu individu menafsirkan, mempersepsi, dan memberikan tanggapan
terhadap lingkungan kerjanya.
Sumber-sumber konflik
organisasi menurut pandangan Feldman , D.C. dan Arnold, H.J menyatakan bahwa,
konflik pada umumnya disebabkan kurangnya koordinasi kerja antar
kelompok/departemen, dan lemahnya sistem kontrol organisasi. Permasalahan
koordinasi kerja antar kelompok berkenaan dengan saling ketergantungan
pekerjaan, keraguan dalam menjalankan tugas karena tidak terstruktur dalam
rincian tugas, perbedaan orientasi tugas. Sedangkan kelemahan sistem kontrol
organisasi yaitu, kelemahan manajemen dalam merealisasikan sistem penilaian
kinerja, kurang koordinasi antar unit atau bagian, aturan main tidak dapat
berjalan secara baik, terjadi persaingan yang tidak sehat dalam memperoleh penghargaan.
No.
|
Penggagas
|
Bentuk Konflik
|
||
1.
|
Soekanto, S. (1981),
|
a.
|
Konflik pribadi
|
|
b.
|
Konflik rasial
|
|||
c.
|
Konflik antar
kelas-kelas sosial
|
|||
d.
|
Konflik politik antar golongan-golongan
dalam masyarakat
|
|||
e.
|
Konflik berskala
internasional antar negara
|
|||
2.
|
Polak, M. (1982)
|
a.
|
Konflik antar
kelompok
|
|
b.
|
Konflik intern
dalam kelompok
|
|||
c.
|
Konflik antar
individu untuk mempertahankan hak dan kekayaan
|
|||
d.
|
Konflik intern
individu untuk mencapai cita -cita
|
|||
3.
|
Champbell, Corbally, dan
Nystrand (1983)
|
a.
b.
|
Intrapersonal conflict
Interpersonal conflict
|
|
c.
|
Individual
institusional conflict
|
|||
d.
|
Intraorganizational
conflict
|
|||
e.
|
School community
conflict
|
|||
4.
|
Walton (1987)
|
a.
|
Conflict between
members of a family
|
|
b.
|
Conflict confined
to two individuals in an organization
|
|||
c.
|
Conflict between
organizational units
|
|||
d.
|
Conflict between
institutions/organizations
|
|||
5.
|
Owens (1991), Winardi
(2004), Davis and Newstron
(1981)
|
a.
b.
c.
|
Intrapersonal
conflict
Interpersonal
conflict
Intra group
conflict
|
|
d.
|
Intergroup conflict
|
|||
e.
|
Inter organization
conflict.
|
|||
6.
|
Wexley, et al. (1992)
|
a.
|
Konflik antar
individu dalam satu kelompok
|
|
b.
|
Konflik bawahan
dengan pimpinan
|
|||
c.
|
Konflik anta dua
departemen atau lebih
|
|||
d.
|
Konflik antar
personalia staf dan lini
|
|||
e.
|
Konflik antar
serikat buruh dengan pimpinan (manajer)
|
|||
7.
|
Handoko, T.H. (1992)
|
a.
|
Konflik dalam diri
individu
|
|
b.
|
Konflik antar
individu dalam organisasi
|
|||
c.
|
Konflik antar
individu dengan kelompok
|
|||
d.
|
Konflik antar
kelompok
|
|||
e.
|
Konflik antar
organisasi
|
|||
8.
|
Ruchyat (2001)
|
a.
|
Konflik
intrapersonal
|
|
b.
|
Konflik
interpersonal
|
|||
c.
|
Konflik intra grup
|
|||
d.
|
Konflik inter grup
|
|||
e.
|
Konflik intra
organisasi
|
|||
f.
|
Konflik inter
organisasi
|
F.
Langkah Mengatasi Konflik
Konflik antar individu atau antar kelompok
dapat menguntungkan atau merugikan bagi kelangsungan organisasi. Oleh karena
itu, pimpinan organisasi dituntut memiliki kemampuan mengelola/memanaj konflik dan memanfaatkan konflik untuk
meningkatkan kinerja organisasi. Tosi, et al. berpendapat bahwa, “Conflict management mean that a manager
takes an active role in addressing conflict situations and intervenes if needed[20].
Yang artinya bahwa manajemen konflik dalam organisasi menjadi tanggung
jawab pimpinan (manajer) baik manajer tingkat lini (supervisor), manajer tingkat menengah (middle manager), dan manajer tingkat atas (top manager), maka diperlukan peran aktif untuk mengarahkan situasi
konflik agar tetap produktif.
Tujuan manajemen konflik adalah untuk mencapai
kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fung sional dan
meminimalkan akibat konflik yang merugikan Walton, R.E. dalam Managing
Conflict mengingatkan kegagalan dalam mengelola konflik dapat menghambat
pencapaian tujuan organisasi, maka pemilihan terhadap teknik pengendalian
konflik menjadi perhatian pimpinan organisasi[21].
Namun pada kenyataannya, tidak ada teknik/pendekatan
dalam pengendalian konflik yang pasti dapat digunakan dalam segala situasi,
karena setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangan dengan situasi dan
kondisi yang berbeda. Gibson, mengatakan, memilih resolusi konflik yang cocok
tergantung pada faktor faktor penyebabnya, dan penerapan manajemen konflik
secara tepat dapat meningkatkan kreativitas, dan produktivitas bagi pihak-pihak
yang mengalami[22]. Sedangkan
menurut Handoko, secara umum, terdapat tiga cara dalam menghadapi konflik
yaitu, (1) stimulasi konflik, (2) pengurangan atau penekanan konflik, dan (3)
penyelesaian konflik. Stimulasi konflik diperlukan apabila satuan-satuan kerja
di dalam organisasi terlalu lambat dalam melaksanakan pekerjaan karena tingkat
konflik rendah. Situasi konflik terlalu rendah akan menye-babkan para karyawan
takut berinisiatif akhirnya menjadi pasif. Perilaku dan peluang yang dapat
mengarahkan individu atau kelompok untuk bekerja lebih baik diabaikan, anggota
kelompok saling bertoleransi terhadap kelemahan dan kejelekan pelaksanaan
pekerjaan. Pimpinan (manajer) organisasi perlu merangsang timbulnya persaingan
dan konflik yang dapat mempunyai dampak peningkatan kinerja anggota organisasi.
Konflik antar orang di dalam organisasi tidak
dapat dielakkan, tetapi dapat dimanfaatkan ke arah produktif bila dikelola
secara baik. Misalnya menurut Edelman, R. J. menegaskan bahwa, jika konfik
dikelola secara sistematis, akan dapat berdampak positif yaitu, memperkuat hubungan kerjasama,
meningkatkan kepercayaan dan harga diri, mempertinggi kreativitas dan
produktivitas dan meningkatkan kepuasan kerja. Akan tetapi sebaliknya,
manajemen konfik yang tidak efektif dengan cara menerapkan sangsi yang berat
bagi penentang dan berusaha menekan bawahan yang menentang kebijakan sehingga
iklim organisasi semakin buruk dan meningkatkan sifat ingin merusak[23]. Maka dari itu, pimpinan
organisasi dituntut memiliki kemampuan tentang manajemen konflik dan
memanfaatkan konflik untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas
organisasi. Manajemen konf1ik adalah
cara yang dilakukan oleh pimpinan pada saat menanggapi konfik. Dalam pengertian
yang hampir sama, manajemen konfik adalah cara yang dilakukan pimpinan dalam memperhitungkan
konflik. Demikian halnya, Criblin, J. mengartikan manajemen konfik merupakan
teknik yang dilakukan pimpinan organisasi untuk mengatur konflik dengan cara
menentukan peraturan dasar dalam bersaing. Sedangkan Winardi berpendapat bahwa,
manajemen konflik meliputi kegiatan-kegiatan; (1) Menstimulasi konflik, (2)
Mengurangi atau menekan konflik, dan (3) Menyelesaikan konflik.[24]
Stimulasi konflik diperlukan pada saat
unit-unit kerja mengalami penurunan produktivitas atau terdapat
kelompokkelompok yang belum memenuhi standar kerja yang ditetapkan. Metode yang
dilakukan dalam menstimulasi konflik yaitu; (a) memasukkan anggota yang memi
liki sikap, perilaku serta pandangan yang berbeda dengan norma-norma yang berlaku,
(b) merestrukturisasi organisasi terutama rotasi jabatan dan pembagian
tugas-tugas baru, (c) menyampaikan informasi yang bertentangan dengan kebiasaan
yang dialami, (d) meningkatkan persaingan dengan cara menawarkan insentif,
promosi jabatan ataupun penghargaan lainnya, (e) memilih pimpinan baru yang
lebih demokratis.
Tindakan mengurangi konflik dilakukan apabila
tingkat konflik tinggi dan menjurus pada tindakan destruktif disertai penurunan
produktivitas kerja di tiap unit/bagian. Metode pengurangan konflik dengan
jalan mensubstitusi tujuan-tujuan yang dapat diterima oleh kelompok kelompok
yang sedang konflik, menghadapkan tantangan baru kepada kedua belah pihak agar
dihadapi secara bersama, dan memberikan tugas yang harus dikerjakan bersama
sehingga timbul sikap persahabatan antara anggota-anggota kelompok.
Penyelesaian konflik (conflict resolution)
merupakan tindakan yang dilakukan pimpinan organisasi dalam menghadapi
pihak-pihak yang sedang konflik. Metode penyelesaian konflik yang paling banyak
digunakan menurut Winardi adalah dominasi, kompromis, dan pemecahan problem
secara integratif.
Sedangkan dalam
Dawn M. Baskerville, 1993:65 disebutkan ada 6 tipe pengelolaan konflik
yang dapat dipilih dalam menangani konflik yang muncul yaitu :
1. Avoiding; gaya seseorang atau organisasi yang cenderung untuk menghindari
terjadinya konflik. Hal-hal yang sensitif dan potensial menimbulkan konflik
sedapat mungkin dihindari sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka.
2. Accomodating; gaya ini mengumpulkan dan mengakomodasikan pendapat-pendapat dan
kepentingan pihak-pihak yang terlibat konflik, selanjutnya dicari jalan
keluarnya dengan tetap mengutamakan kepentingan pihak lain atas dasar
masukan-masukan yang diperoleh.
3. Compromising; merupakan gaya menyelesaikan konflik dengan cara melakukan negosiasi
terhadap pihak-pihak yang berkonflik, sehingga kemudian menghasilkan solusi
(jalan tengah) atas konflik yang sama-sama memuaskan (lose-lose solution).
4. Competing; artinya pihak-pihak yang berkonflik saling bersaing untuk memenangkan
konflik dan pada akhirnya harus ada pihak yang dikorbankan (dikalahkan)
kepentingannya demi tercapainya kepentingan pihak lain yang lebih kuat atau
yang lebih berkuasa (win-lose solution).
5. Collaborating; dengan cara ini pihak-pihak yang saling bertentangan akan sama-sama
memperoleh hasil yang memuaskan, karena mereka justru bekerja sama secara
sinergis dalam menyelesaikan persoalan, dengan tetap menghargai kepentingan
pihak lain. Singkatnya, kepentingan kedua pihak tercapai (menghasilkan win-win
solution).
6. Conglomeration (mixtured type); cara ini menggunakan kelima style bersama-sama dalam
penyelesaian konflik.
Perlu kita ingat bahwa dalam memilih style yang
akan dipakai oleh seseorang atau organisasi di dalam pengelolaan konflik akan
sangat bergantung dan dipengaruhi oleh persepsi, kepribadian/karakter (personality), motivasi, kemampuan (abilities) atau pun kelompok acuan
yang dianut oleh seseorang atau organisasi. Dapat dikatakan bahwa pilihan
seseorang atas gaya mengelola konflik merupakan fungsi dari kondisi khusus
tertentu dan orientasi dasar seseorang atau perilakunya dalam menghadapai
konflik tersebut yang juga berkaitan dengan nilai (value) seseorang tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Konflik dalam kehidupan memang tidak bisa
dihindari, terlebih lagi dalam sebuah organisasi, konflik dimungkinakan muncul
setiap saat yang tidak bisa diprediksi, namun demikian, konflik yang terjadi
bukan untuk dihindari, melainkan diselesaikan. Karena konflik jika tidak
diselesaikan makan ekan mengakibatkan dampak yang tidak baik untuk individu
maupun kelompok. Ada beberapa pendekatan dan bentuk konflik yang dapat
diselesaiakn melalui berbagai pendekatan diantaranya menurut Winardi adalah dominasi,
kompromis, dan pemecahan problem secara integratif. Sedangkan menurut Dawn
yakni Avoiding; Accomodating;
Compromising; Competing; Collaborating; dan Conglomeration. Namun yang pasti dalam penanganan konflik tidak serta merta menggunakan
satu/lebih pendekatan pasti akan menyelesaikan sebuah konflik, melaikan sangat
bervariasi yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi konflik yang
dihadapi.
B.
Saran
Ada beberapa berbagai pendekatan dan bentuk
konflik, serta cara menanganinya, namun pada kenyataannya penanganan konflik
tidaklah semudah dalam teori, untuk itu kreatifitas dan kejelian pimpinan lebih
diutamakan dalam penyelesaian konflik. Makalah ini hanya menyajikan sedikit
gambaran tentang konflik dan bentuk penanganannya yang masih banyak kekurangan,
untuk itu kritik dan saran diperlukan guna perbaikan ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Antropologi Baru, Jakarta:
Penerbit PT Dian Rakyat: 1986, hlm 139.
Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, Jakarta :
Prestasi Pustaka Publisher, 2007
Dany Haryanto, S.S andG. Edwi Nugroho, Pengantar
Sosiologi Dasar, (Jakarta :
PT. Prestasi Pustakarya, 2011
Gibson., Ivancevich, Donnelly, Organization: Structure, Processes, Behavior,
Dallas, Business
Publications Inc, 1996.
H.B Siswanto, Pengantar Manajemen, Cet ke 12,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016
Husaini Usman, Manajemen: Teori, Praktik,
dan Riset Pendidikan edisi 3,
(Jakarta Timur: PT Bumi Aksara, 2009
Luthans, F, Organizational Behavior. New York:
McGraw-Hill Bokk Company:
1985
Luthans, Fred, Perilaku
Organisasi, Cet ke-10. Andi, Yogyakarta, 2006
Michael Armstrong, Armstrong Handbook’s Of
Management And Leadership; A
guide to managing for results, 2ndedition, (London and Philadelpia:
Kogan Page, 2009.
Owens, R.G. (1991). Organization
Behavior in Education.Boston: Allyn and
Bacon, 1991.
Robbins, Organizational Behavior. Terj. Indeks,
PT Indeks Kelompok Gramedia,
Jakarta: 2003
Robbins, Stephen P, Organization Theory: Structure,
Design and Applications.
Englewood Cliffs: Prentice Hall: 1990
Sedarmayanti, Restrukturisasi dan Pemberdayaan
Organisasi untuk Menghadapi
Dinamika Perubahan Lingkungan Ditinjau dari
Beberapa Aspek Esensial
dan Aktual, CV Mandar Maju, Bandung: 2000
Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam,
Ciputat: Ciputat Press,
2005
Tosi, H.L., Rizzo, J.R. & Carrol,
S.J., Managing Organizational Behavior, New
York: Harper
Collins Publihser, 1990
Walton, R.E., Managing Conflict: Interpersonal Dialogue and ThirdParty Roles.
(2nd Edition).
Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company, 1987
Winardi, Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan
Pengembangan), CV
Mandar Maju, Bandung: 2004
Wirawan, Konflik
dan Manajemen konflik: Teori, Aplikasi, dan
Penelitian,
Salemba Empat, Jakarta: 2010
[1] Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Prestasi
Pustaka Publisher, 2007, hlm 54
[2] Husaini Usman, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset
Pendidikan edisi 3, (Jakarta Timur: PT Bumi Aksara, 2009), hlm 5
[3] Michael Armstrong, Armstrong Handbook’s Of Management And
Leadership; A guide to managing for results, 2ndedition, (London and
Philadelpia: Kogan Page, 2009), hlm 3.
[4] Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Ciputat:
Ciputat Press, 2005), hlm 42
[6] Efektif menurut Robbins, dikutip dari Syafruddin, Manajemen Lembaga
Pendidikan Islam adalah pencapaian aktivitas-aktivitas secara sempurna
sesuai tujuan yang akan dicapai, lihat hlm 43.
[7] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, efisien diartikan menghasilkan
sesuatu dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya.
[8] H.B
Siswanto, Pengantar Manajemen, Cet ke 12, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2016), hlm 18-19
[9] Dany Haryanto, S.S andG. Edwi Nugroho, Pengantar Sosiologi Dasar,
(Jakarta : PT. Prestasi Pustakarya, 2011, hlm 113
[10] Alisjahbana, Antropologi Baru, Jakarta: Penerbit PT Dian
Rakyat: 1986, hlm 139.
[11] Luthans, F, Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill Bokk
Company: 1985, hlm 73.
[12] Winardi, Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan),
CV Mandar Maju, Bandung: 2004, hlm 1.
[13] Sedarmayanti, Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi untuk
Menghadapi Dinamika Perubahan Lingkungan Ditinjau dari Beberapa Aspek Esensial
dan Aktual, CV Mandar Maju, Bandung: 2000, hlm 137.
[14] Robbins, Organizational Behavior. Terj. Indeks, PT Indeks
Kelompok Gramedia, Jakarta: 2003, hlm 137.
[15] Robbins, Stephen P, Organization Theory: Structure, Design and
Applications. Englewood Cliffs: Prentice Hall: 1990, hlm 438.
[16] Wirawan, Konflik dan Manajemen
konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian,
Salemba Empat, Jakarta: 2010, hlm 22.
[17] Winardi, Manajemen Konflik..., hlm 4.
[19] Robbins, Organisasional Bahaviour..., hlm 105.
[20] Tosi, H.L., Rizzo, J.R. & Carrol, S.J., Managing Organizational Behavior, New York: Harper Collins Publihser, 1990, hlm
234.
[21] Walton, R.E., Managing
Conflict: Interpersonal Dialogue and
ThirdParty Roles. (2nd Edition). Massachusetts:
Addison-Wesley Publishing Company, 1987, hlm 79.
[22] Gibson., Ivancevich, Donnelly, Organization: Structure, Processes, Behavior, Dallas, Business
Publications Inc, 1996.
[24] Winardi, Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan),
CV Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm 154.
No comments:
Post a Comment
Nama:
Eamil: