JURNAL: MANAJEMEN KURIKULUM PENDIDIKAN INKLUSIF - PERANTAU

Breaking

 


Sunday, October 25, 2020

JURNAL: MANAJEMEN KURIKULUM PENDIDIKAN INKLUSIF

Oleh: Mukhtar 
STAI Sangatta Kutai Timur, Kalimantan Timur 
DOI 10.17605/OSF.IO/G2WQF

Abstrak: 
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field reseach) menggunakan pendekatan penelitian naturalistik yang bertujuan untuk mengetahui manajemen perencanaan, pengorganisasian, implementasi dan evaluasi kurikulum pendidikan inklusif. Sumber data dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah, Waka Kurikulum, Guru Mata Pelajaran dan Guru Bimbingan Konseling. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik keabsahan data menggunakan trianggulasi data dan teknik analisis data menggunakan model Mills dan Huberman. Hasil penelitian menunjukkan perencanaan kurikulum menggunakan pendekatan grass roots approach, yang melibatkan seluruh stake holder di SMPN 1 Sangatta Utara. Pengorganisasian kurikulum menggunakan pendekatan Integrated Curriculum, menyusun dan memodifikasi mata pelajaran secara terintegrasi. Implementasi kurikulum menggunakan pendekatan model TORI, mengarahkan peserta didik lebih kepada aspek terjadinya perubahan sosial dan sistem pengajaran menyesuaikan kebutuhan ABK. Evaluasi kurikulum menggunakan pendekatan Educational System Evaluation, mencakup input (bahan, rencana, peralatan), proses dan hasil yang dicapai dalam arti yang lebih luas. 

Kata Kunci : Manajemen Kurikulum, Pendidikan Inklusif 


PENDAHULUAN 
Pendidikan adalah investasi masa depan, itu merupakan sebuah ungkapan yang tepat, mengingat faktor yang akan menentukan maju mundurnya sebuah bangsa salah satunya adalah pendidikan. Menurut Sudjana, pendidikan menjadi hal yang sangat penting peranannya dalam menentukaan nasib sebuah bangsa, karena dengan meningkatkan kualitas pendidikan pada gilirannya akan meningkatkan sumber daya manusia. 

Dalam konteks pembangunan, Indonesia merupakan salah satu bangsa yang menaruh harapan besar terhadap pendidikan demi perkembangan masa depan. Hal ini terlihat jelas dengan lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang menyatakan bahwa wewenang terbesar bidang pendidikan ada di tangan pemerintah daerah, baik menyangkut pendanaan maupun kebijakan strategis di bidang kurikulum. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan faktor terpenting dalam pembangunan sebuah bangsa, untuk itu pendidikan perlu menjadi perhatian serius oleh pemerintah dan tentunya menjadi hak setiap warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang. Dan pendidikan memiliki peran penting dan strategis baik dalam ekonomi, politik, hukum, pendidikanakan selalu dibutuhkan masyarakat untuk dapat bersaing di kancah internasional menuju tatanan kehidupan baru.[1]

Begitu pentingnya pendidikan bagi segenap warga, maka siapapun warga msayarakat Indonesia dijamin haknya untuk mengenyam pendidikan, tidak terkecuali anak yang berkebutuhan khusus dan sebagainya. Karena itu, pendidikan menjadi hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia, tanpa memandang perbedaan ras, suku, golongan, agama dan sebagainya, termasuk perbedaan kondisi fisik ataupun mental. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 jelas diamanatkan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan[2]. Dengan demikian berarti anak-anak yang berkebutuhan khusus seperti, tunanetra, tunarungu, tunagrahita (gangguan intelektual), tunadaksa (gangguan gerak anggota tubuh), tunalaras (gangguan perilaku dan emosi) dan anak-anak berkesulitan belajar lainnya juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Namun beberapa dekade yang lalu, sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan mental maupun fisik yang dimiliki oleh siswa, sehingga segmentasi penyelenggaraan pendidikan ini menghambat siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.[3] Selama ini anak-anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan yang sesuai dengan kelainannya. Hal ini secara tidak disadari akan membangun tembok eksklusifisme bagi anak-anak berkebutuhan khusus, hal itu ternyata menghamabat saling mengenal antara anak normal dengan anak berkebutuhan khusus[4]

Pengakuan atas hak pendidikan bagi setiap warga negara, juga diperkuat dalam berbagai deklarasi internasional. Misal dalam konvensi PBB tentang hak anak pada pasal 2, 23, 28, dan 29 menekankan tidak ada diskriminasi dan pembedaan hak anak dalam segala hal.[5] Pada tahun 1948, Deklrasi Hak Asasi Manusia mengeluarkan pernyataan bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia yang paling dasar (basic human right). Dalam kesepakatan internasional Conventional on The Right of Person with Disabilities and Optional Protocol misalnya mendorong terwujudnya pendidikan inklusif. Pada pasal 24 dinyatakan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh anak berkebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat[6]

Seiring berjalannya waktu, berkaca dari pentingnya pendidikan bagi setiap warga merupakan hak asasi manusia, nampaknya pemerintah Indonesia juga ingin mewujudkan pendidikan yang tidak drsikiminatif dan dapat dirasakan oleh semua warga tanpa memandang berbagai latar belakang. Hal ini bisal dilihat dari munculnya peraturan menteri pendidikan nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Bukti jaminan pemerintah terhadap pendidikan inklusif lainnya yaitu adanya Deklarasi Bandung (nasional) “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” pada 8-14 Agustus 2004, diantaranya poinnya menjamin setiap anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesamaan akses dalam segala aspek kehidupan , baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi yang handal[7]

Pendidikan inklusif merupakan suatu pendidikan yang memberikan peluang bagi para anak berkebutuhan khusus agar dapat masuk dalam sekolah reguler. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 pasal 2 tentang Pendidikan Inklusif bertujuan: 1) Memberikan kesempatan yang sama yang seluas-luasnya kepada peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan bakat dan kemampuan, 2) Mewujudkan penyelenggara pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminasi bagi semua peserta didik. 

Hal tersebut di atas diperjelas kembali oleh Direktorat Jendral Pendidikan Luar Biasa tahun 2006, bahwasannya; pendidikan inklusif merupakan sistem penyelenggara pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik dari berbagai kondisi dan latar belakang pendidikan dan pembelajaran dalam satu lingkungan secara bersama-sama, dengan layanan pendidikan yang disesuaikan kebutuhan dana dan kemampuan siswa. 

Pada intinya, point penting dari pendidikan inklusif ini sendiri adalah tidak ada diskriminasi yang didasari perbedaan latar belakang dalam dunia pendidikan dan siapapun berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Dalam islam diskriminasi itu juga tidak dibenarkan, Allah swt berfirman dalam Qs. An-Nuur ayat 61 yang artinya : 

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara- saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah ) dari rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya (yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri), salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya[8]

Ayat tersebut mengandung makna kesetaraan yaitu bahwa tidak ada halangan bagi masyarakat untuk bergabung bersama dengan mereka yang berkebutuhan khusus seperti buta, pincang, bisu, tuli atau bahkan sakit. Mereka berhak untuk makan bersama, berkumpul bersama layaknya masyarakat pada umumnya[9]. Menurut penulis, ayat tersebut mengajarkan kita umat manusia untuk tidak mendeskriminasikan perbedaan yang ada dalam segala hal, tak terkecuali dalam dunia pendidikan. 

Pendidikan adalah salah satu sektor pembangunan yang pokok, dimana pemerintah di setiap negara harus benar-benar memperhatikan sektor ini agar seimbang bersama-sama dengan sektor pembangunan lainnya. Sebegitu pentingnya perhatian kepada sektor pendidikan dalam pembangunan tidak lain karena pendidikan menyediakan sumber daya manusia yang akan turut andil dalam kelancaran pembangunan nasional dalam suatu negara[10]. Salah satu dampak dari komitmen pemerintah Indonesia akan pentingnya pendidikan misalnya adalah Kabupaten Kutai Timur yang menyelenggarakan pendidikan tanpa diskriminasi di beberapa tingkatan sekolah, salah satunya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Sangatta Utara yang ditunjuk jadi pilot project untuk menjadi penyelenggara pendidikan inklusif tingkat SMP . 

Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 (SMPN 1) Sangatta Utara merupakan satu-satunya Sekolah tingkat Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Kutai Timur yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Karena kemajuan dan berbagai potensi sumber daya yang ada, menjadikan sekolah tersebut sebagai pilot project pendidikan inklusif tingkat SMP satu-satunya di Kutai Timur. 

Tentu bukan hal yang mudah bagi kepala sekolah dan seluruh pengelola SMPN 1 Sangatta Utara untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif, pasalnya konsep pendidikaan tersebut terbilang baru dan memang semenjak berdirinya SMPN 1 Sangatta Utara belum pernah menyelenggarakan pendidikan inklusif tersebut. Terlebih misalnya ada beberapa contoh sebagian lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif belum maksimal, misalnya penelitian dari Prastiyono yang menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Sekolah Galuh Handayani belum optimal atau sesuai harapan masyarakat. Hal ini juga senada dengan hasil penelitian Sunardi pada tahun 2009 yang mengatakan ada beberapa permasalahan pendidikan inklusif di tingkat sekolah yang perlu dicermati dan diantisipasi agar tidak menghambat pelaksanaan pendidikan inklusif, diantaranya: pemahaman dan implementasinya, kebijakan sekolah, proses pembelajaran, kondisi guru, dan support sistem tentang penyiapan anak[11]

Kalau berkaca pada persoalan tersebut di atas, tentu menjadi tantangan tersendiri dan banyak hal yang dilakukan oleh SMPN 1 Sangatta Utara dalam mensukseskan penyelenggaraan pendidikan inklusif, salah satunya menurut Kepala Sekolah Bpk Sugiri, adalah pemenuhan sarana prasarana untuk siswa Anak Berkebutuhan Khusus dan memodifikasi materi atau pun metode pembelajaran yang semua itu tercakup dalam kurikulum[12]. Selaras dengan itu, menurut Lias Hasibuan, bila ingin memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan maka yang pertama harus dilakukan adalah mengembangkan dan melengkapi kurikulum disesuaikan dengan potensi daerah serta tuntutan perkembangan zaman. Karena, kurikulum pada dasarnya menempati posisi sentral di dalam keseluruhan proses pendidikan[13]

Demikian pentingnya sebuah kurikulum, sebagai gambaran demi mencapai tujuan pendidikan seandainya dipandang perlu membangun gedung, maka hal itu harus dilakukan, begitu pula dengan aspek lain seperti pengangkatan tenaga pengajar, karyawan, pengadaan media pendidikan, sarana prasarana dan sebagainya diupayakan sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan kurikulum[14]

Berangkat dari berbagai persoalan tersebut, penulis ingin tahu lebih jauh bagaimana penyelenggaraan pendidikan inklusif dari aspek manajemen kurikulumnya, untuk itu penulis ingin meneliti tentang bagaimana manajemen kurikulum pendidikan inklusif di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 (SMPN 1) Sangatta Utara. 



LANDASAN TEORI 

Manajemen 
Secara etimologi, manajemen berasal dari bahasa latin , dari kata manus yang berarti tangan dan agere yang berarti melakukan. Kata-kata itu digabung menjadi kata kerja managere yang artinya menangani. Managere diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dalam bentuk kata kerja to manage, dengan kata benda management, dan manager untuk orang yang melakukan kegiatan manajemen. Akhirnya kata management diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi manajemen atau pengelolaan.[15]

Menurut Michael Armstrong, management is the process of deciding what to do and then getting it done through the effective use of resources[16], maksudnya yaitu manajemen adalah proses menentukan apa yang harus dilakukan dan kemudian menyelesaikannya melalui penggunaan sumber daya secara efektif. 

Menurut George R.Terry ada empat fungsi-fungsi manajemen sebagai berikut: Planning (Perencanaan), Organizing (Pengorganisasian), Actuating (pelaksanaan), dan Controlling (Pengendalian)[17]. Sedangkan menurut Henry Fayol terdapat lima fungsi, yaitu : Planning (Perencanaan), Organizing (Pengorganisasian), Comanding (pengaturan), Coordinating (pengkoordinasian). dan Controlling (Pengawasan). 


Kurikulum 
Kurikulum yaitu seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[18]

Menurut J. Lloyd dan Delmas F. Miller dalam buku secondary School Improvemant dikutip dari Asas-Asas Kurikulum, kurikulum juga termasuk metode mengajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan administrasi dan hal-hal struktural mengenai waktu jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran[19]

Kurikulum tersebut juga mempunyai komponen seperti yang diungkapkan oleh S. Nasution, meliputi: 1) tujuan; 2) bahan pelajaran; 3) proses belajar mengajar; dan 4) evaluasi. Sedangkan Menurut Lias Hasibuan komponen-komponen kurikulum pada prinsipnya terdiri dari empat macam komponen, yaitu: komponen tujuan, komponen materi, komponen metode, komponen evaluasi.[20]

Manajemen Kurikulum 
Menurut Suharsimi Arikunto, manajemen kurikulum adalah segenap proses usaha bersama untuk memperlancar pencapaian tujuan pengajaran dengan titik berat pada usaha, meningkatkan kualitas interaksi belajar mengajar.[21]

Menurut Rusman, manajemen kurikulum adalah sebuah proses atau sistem pengelolaan kurikulum secara kooperatif, komprehensif, sistemik, dan sistematik dalam rangka mewujudkan ketercapaian tujuan kurikulum.[22]

Ruang lingkup dari manajemen kurikulum meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum. Pada satuan tingkat pendidikan, kegiatan kurikulum lebih mengutamakan untuk merealisasikan dan merelevansikan antara kurikulum nasional dengan kebutuhan daerah dan kondisi sekolah yang bersangkutan sehingga kurikulum tersebut merupakan kurikulum yang terintegritas dengan peserta didik maupun dengan lingkungan di mana sekolah itu berada[23]

Prinsip Manajemen Kurikulum 
Menurut Rusman, terdapat lima prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan manajemen kurikulum, yaitu: produktifitas, demokratisasi, kooperatif, efektifitas dan efisiensi, mengarahkan visi misi dan tujuan yang ditetapkan dalam kurikulum.[24]

Rusman menambahkan, dalam proses pendidikan perlu dilaksanakan manajemen kurikulum agar perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum berjalan lebih efektif, efisien, dan optimal dalam memberdayakan berbagai sumber belajar, pengalaman belajar, maupun komponen kurikulum.[25]


METODE 
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field reseach), yaitu peneliti turun langsung ke lapangan, terlibat dengan masyarakat setempat.[26] Maksudnya adalah peneliti dalam mendapatkan data-data penelitian berbaur dengan sumber data ke lokasi langsung untuk melakukan pengamatan, waawancara dan dokumentasi. 

Pendekatan dalam penelitian ini yakni penelitian naturalistik, karena penelitian ini dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), yang memandang realitas sosial sesuatu yang holistik/utuh, kompleks, dinamis dan penuh makna.[27] Hal ini juga diperkuat dalam bukunya Lexi J. Moleom yang menyebutkan penelitian kualitatif ini adalah naturalistik (alamiah), yakni penelitian yang dilakukan antara peneliti dan sumber penelitian tidak ada jarak, dan dilakukan pada obyek yang alamiah.[28] Yang dimaksud obyek alamiah yaitu obyek yang berkembang apa adanya, tidak ada manipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak mempengaruhi dinamika pada obyek tersebut.[29]

Fokuspenelitian ini pada manajemen perencanaan kurikulum, manajemen pengorganisasian kurikulum, dan manajemen evaluasi kurikulum pendidikan inklusif di SMPN 1 Sangatta Utara. 

Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah bidang kurikulum, Koordinator pendidikan inklusif, guru mata pelajaran dan guru bimbingan konseling. 

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara observasi/pengamatan, wawancara dan dokumentasi. 

Setelah data data didapatkan, kemudian dilakukan uji keabsahan data meliputi uji, Objektivitas (confirmability), Kesahihan internal (credibility), kesahihan eksternal, (transferability), dan keterandalan (dependability). 

Untuk menguji keabsahan data, langkah langkah yang dilakukan antara lain dengan memperpanjang waktu pengamatan, membandingkan temuan data dari 3 bentuk metode pengumpulan data secara berulang ulang dan seksama untuk mencermati temuan secara detail, serta melakukan tri angulasi data yakni membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan, membandingkan hasil wawancara dari informan satu dengan informan lainnya kemudian mengkonfirmasikan dengan berbagai hasil data yang telah didapatkan tentang situasi penelitian. 

Setelah data didapatkan dan diuji keabsahannya, kemudian dilakukan analisis data menggunakan anlisis Mills dan Hibermen yang membagi kegiatan analisis data menjadi beberapa bagian, yaitu : pengumpulan data, pengelompokan menurut variable, reduksi data, penyajian data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data.[30]

Berikut di bawah ini diagram teknik analisis data model analisis interaktif dari Mills dan Huberman:








Data data yang didapatkan dilapangan, kemudian dikumpulkan sebanyak-banyaknya tanpa mengurangi sedikitpun, kemudian setelah data terkumpul dipilah pilah atau disaring berdasarkan tingkat kepentingan atau fokus masalah yang diteliti.

Setelah dilakukan pemilahan, selanjutnya dilakukan penyajian data, yakni mendeskripsikan data-data tersebut secara sistematis juga sangat mungkin ada hal lain yang ditawarkan berdasarkan teori-teori yang telah dituangkan dalam penelitian. 

Setelah data dideskripsikan berdasarkan fokus penelitian, kemudian dilakukan penarikan kesimpulan untuk mendapatkan hasil penelitian secara utuh dan sistematis. 

HASIL PENELITIAN 
1. Manajemen perencanaan kurikulum pendidikan inklusif di SMPN 1 Sangatta Utara. 
Perencanaan kurikulum pendidikan inklusif di SMPN 1 Sangatta Utara menggunakan pendekatan grass roots approach, yang mana dalam perencanaan kurikulum pendidikan inklusif, Kepala Sekolah melibatkan para guru untuk merumuskan sistem penyelenggaraannya, misal dilakukan rapat setelah mendapatkan SK penyelenggaraan dari Dinas Pendidikan dan koordinator pun diberi kewenangan untuk ambil kebijakan pengembangan pembelajaran. 

Untuk mengelola pendidikan inklusif ditentukan koordinator sebagai penanggungjawab pelaksana. Dalam perencanaannya, kurikulum yang digunakan yakni kurikulum 2013 yang dimodifikasi menyesuaikan kebutuhan ABK, penerimaan siswa dilakukan berdasarkan assesment dari psikolog dengan rentan IQ 60-90 yang nantinya ditempatkan dalam satu kelas satu ABK, tidak dikelompokkan menjadi satu. Selain itu pemenuhan sarana prasarana seperti UKS dimaksimalkan menyesuaikan kebutuan ABK serta adanya pendamping ABK di tiap-tiap kelas yang ada ABK nya. 

2. Manajemen pengorganisasian kurikulum 
Pengorganisasian kurikulum pendidikan inklusif SMPN 1 Sangatta Utara menggunakan Integrated Curriculum, hal ini bisa dilihat dari susunan mata pelajaran yang dikelompokkan dan antara mata pelajaran satu dengan yang lain muatan materinya terintegrasi, contoh dalam prakteknya, penyaampaian mata pelajaran pendidikan agama juga mengandung muatan bahasa, pendidikan kewarganegaraan dan seterusnya, pada aspek lain misalnya saat ini para siswa ditekankan untuk memecahkan masalah dengan berpikir sendiri. 

Mengenai pengorganisasian kurikulum sebaran mata pelajaran mengikuti dari dinas, materinya diintegrasikan antar mata pelajaran, dan tidak mewajibkan siswa ABK untuk ikut ekstrakurikuler maupun diberikan sanksi ketika melanggar aturan sekolah 

Kelompok A adalah mata pelajaran yang memberikan orientasi kompetensi lebih kepada aspek intelektual dan afektif. Kelompok B adalah mata pelajaran yang lebih menekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Untuk seni budaya didalamnya terdapat pilihan yang disesuaikan dengan minat siswa dan kesiapan satuan pendidik dalam melaksanakannya. 

- Pramuka (Wajib), kecuali untuk siswa ABK tidak diwajibkan melainkan belajar di kelas khusus. 
Untuk IPA dan IPS dikembangkan sebagai mata pelajaran integrative science dan integrative social studies, bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu. Keduanya sebagai pendidikan berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan pengembangan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan alam. Disamping itu, tujuan pendidikan IPS menekankan pada pengetahuan tentang bangsanya, semangat kebangsaan, patriotisme, serta aktivitas masyarakat di bidang ekonomi dalam ruang atau space wilayah NKRI. IPA juga ditujukan untuk pengenalan lingkungan biologi dan alam sekitarnya, serta pengenalan berbagai keunggulan wilayah Nusantara. 

3. Manajemen implementasi kurikulum 
Implementasi pendidikan inklusif SMPN 1 Sangatta Utara juga erat dengan gagasan yang dituangkan oleh Oemar Hamalik tentang perlunya manajemen strategi. Hal ini bisa dilihat misalnya dalam proses pembelajaran itu hasil dari perencanaan dan tentu muaranya bisa dilihat pada hasil evaluasi. 

Implementasi kurikulum pendidikan inklusif SMPN 1 Sangatta utara terbagi menjadi implementasi kurikulum untuk tingkat sekolah yang dilakukan oleh kepala sekolah dan implementasi kurikulum tingkat kelas yang dilakukan oleh guru. 

Kepala sekolah bertanggungjawab atas rangkaian pembelajaran yang dialkasnakan, memimpin rapat dan memutuskan kebijakan, selain itu juga kepala sekolah menyusun kalender akademik yang menyesuaikan dari dinas pendidikan, dalam hal ini tidak banyak di rubah paling hal-hal yang insidental dan memantau perkembangan pendidikan inklusif. 

Dalam implementasi kurikulum tingkat kelas, pada hari Senin sampai Jumat, siswa ABK dibaurkan dengan siswa reguler, dalam satu kelas satu siswa ABK dan ditempatkan di kelas yang kondusif. Di kelas reguler, tidak ada guru pendamping, melainkan hanya guru mata pelajaran yang mengajar, untuk mensiasati guru pendamping, pihak sekolah menunjuk 4 guru BK untuk stanby, sewaktu-waktu dipanggil jika ada ABK yang “sakitnya kambuh/berulah”, dan guru BK ini mendampingi secara penuh pada hari Sabtu, ketika siswa ABK belajar di kelas khusus. 

Pada proses pembelajarannya di kelas reguler menggunakan kurikulum 2013, untuk siswa ABK dimodifikasi menyesuaikan kebutuhan, namun dalam hal ini masih pada prakteknya belum didokumentasikan dalam silabus atau rpp. Untuk pembelajaran di kelas, siswa ABK mengikuti saja apa yang diasampaikan oleh guru, metode pembalajarannya yang dipakai ceramah, diskusi dan turun ke lapangan, sesekali guru memperhatikan atau menanyakan tingkat pemahaman siswa ABK dengan standar pemahaman di bawah siswa pada umumnya. Paham atau tidaknya ABK di kelas reguler, pembelajaran tetap berlanjut mengikuti siswa pada umumnya, dan nantinya menjadi catatan tersendiri oleh guru mata pelajaran untuk dilaporkan ke koordinator penyelenggara untuk kemudian ditindaklanjuti dalam belajar di kelas khusus tiap hari Sabtu. 

Impelemntasi kurikulum ini juga dengan berbagai cara yang dilakukan, misal adanya kelas khusus, pendampingan/pembimbingan secara intens untuk peningkatan intelektualnya dan kepribadian serta pengarahan terhadap minat/yang disenangi siswa, ini semua bertujuan untuk menghasilkan produk berbeda namun saling berkaitan dengan senantiasa diperbaiki secara terus menerus. 

Jika dikaitkan dengan model implementasi kurikulum, maka model implementasi kurikulum pendidikan inklusif yang dilakukan di SMPN 1 Sangatta Utara mengacu pada model implementasi kurikulum model TORI, yang mana esensi model tersebut yaitu (1)Trusting (menumbuhkan kepercayaan diri); (2) Opening (menumbuhkan dan membuka keinginan; (3) Reelizing (mewujudkan, dalam arti setiap orang bebas berbuat dan mewujudkan keinginannya untuk perbaikan; (4) Interdepending (saling ketergantungan dengan lingkungan. Inti dari model ini adalah memfokuskan pada perubahan personal dan perubahan sosial.[31] Hal ini bisa dilihat dari implementasi yang dilakukan terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif yakni mengarahkan peserta didik lebih kepada aspek terjadinya perubahan sosial (menjadi mandiri dan bisa diterima di masyarakat dan teman sebayanya), dan juga dilakukan pengajaran menyesuaikan kebutuhan ABK tersebut. 

4. Manajemen evaluasi kurikulum 
Evaluasi kurikulum pendidikan inklusif di SMPN 1 Sangatta Utara mengacu pada model evaluasi Educational System Evaluation. Evaluasi ini pada dasarnya merupakan perbandingan antara performance setiap dimensi program dan kriteria, yang akan berahir dengan suatu deskripsi dan judgmen (pertimbangan). Objek evaluasi mencakup input (bahan, rencana, peralatan), proses dan hasil yang dicapai dalam arti yang lebih luas. Jenis data yang dikumpulkan baik data objektif maupun data subjektif (pertimbangan, data), mencakup aspek input (bahan, rencana, peralatan), proses dan hasil yang dicapai dalam arti yang lebih luas, hal ini bisa dilihat bahwa penilainnya juga tidak saja pada kognitifnya, melainkan aspek sifat dan kemandirian siswa ABK. 

Evaluasi dilakukan oleh guru mata pelajaran, guru pembimbing, koordinator penyelenggara, maupun kepala sekolah dengan tugas dan tanggungjawab masing-masing sesuai dengan kapasitasnya. 

Guru kelas melakukan evaluasi melalui pengamatan dan tugas mingguan, bulanan, maupun semester juga bersamaan dengan siswa pada umumnya, namun mengenai tingkat kesusahan soal diturunkan, jumlah waktu pengerjaan lebih banyak dan bebas mengerjakan di tempat dimana ABK tersebut inginkan (pemberian tugas kadang mingguan/saat satu tema/bab habis, maupun saat akhir semester). Kaitannya dengan pengamatan, guru mengamati perkembangan “kemandirian” siswa ABK tanpa ditentukan oleh target atau waktu. Kemandirian siswa yang dimaksud misalnya siswa ABK yang tadinya cuek, tidak menegur teman ketika di dalam kelas, tidak rapi dan sebagainya,dalam perkembangannya ada perubahan atau tidak. Untuk evaluasi, siswa ABK tidak mengikuti UN, hanya mengikuti ujian sekolah, karena memang untuk ABK tidak ada tuntutan akademik melainkan lebih kepada bagaimana bersosialisasi, dan mandiri. 

Evaluasi dari guru mata pelajaran kemudian dilaporkan kepada koordinator baik secara lisan maupun catatan dalam bentuk porto polio/catatan. Dari koordinator kemudian dilakukan perbaikan, koordinator yang sekaligus guru BK bersama 3 timnya melakukan perbaikan perbaikan apa yang menjadi kebutuhan siswa ABK dan dianalisis potensinya kemudian dikembangkan/difokuskan. Contoh yang minat azdan maka akan intens dilatih azdan, yang suka nyanyi, menjahit dan sebagainya juga akan dilatih secara intens dan fokus, dan hal tersebut akan menjadi prioritas pengembangan diri untuk siswa ABK tersebut. 

Sementara itu, kepala sekolah mengevaluasi secara keseluruhan proses, kemudian mengambil kebijakan selanjutnya dalam hal perbaikan, bisasnya lebih kepada kebijakan yang berkaitan dengan kelembagaan. Intinya, evaluasi pendidikan inklusif di SMPN 1 Sangatta utara dilakukan dengan sistem penilaian/pemberian tugas baik mingguan, bulanan ataupun akhir semester dan melalui pengamatan oleh guru mata pelajaran, guru bimbingan konseling, koordinator dan Kepala Sekolah. 

IMPLIKASI TEMUAN PENELITIAN 
Berdasarkan hasil penelitian tentang manajemen kurikulum pendidikan inklusif di SMPN 1 Sangatta Utara terdapat beberapa implikasi diantaranya adalah sebagai berikut : 

1. Fungsi manajemen kurikulum untuk mengelola perencanaan, pengorganisasian, implementasi, dan evaluasi kurikulum guna meningkatkan kerja organisasi yang efektif dan efisian sebuah lembaga pendidikan. Dengan mengetahui manajemen kurikulum secara keseluruhan maka sangat mungkin sebuah lembaga akan maju dan berkembang, apa yang menjadi tujuan bisa tercapai dengan baik. 

2. Perencanaan kurikulum, menjadi “induk/kepala” dari sebuah proses untuk mencapai tujuan organisasi, perencanaan kurikulum yang baik bisa menjadi motivasi” dalam pelaksanaan pendidikan yang optimal, untuk itu setiap kepala sekolah dan guru maupun tenaga kependidikan perlu mempersiapkan perencanaan kurikulum dengan sebaik mungkin untuk mendukung tercapainya tujuan kurikukum. 

3. Yang tidak kalah penting dan menjadi “ujung tombaknya” manajemen kurikulum adalah evaluasi, karena evaluasi kurikulum merupakan “rambu-rambu” agar pelaksanaan kurikulum tidak keluar dari yang direncanakan. Hasil evaluasi nantinya menjadi dasar perbaikan kurikulum di masa mendatang. 



SIMPULAN DAN SARAN 
SIMPULAN 
1. Perencanaan meliputi: penunjukan koordinator sebagai pelaksana, mengadakan studi komparasi dan pelatihan, penentuan batas IQ siswa, penentuan kurikulum yang dimodifikasi, penentuan tenaga pendidik dan pendamping, penentuan kalender akademik dan pemberlakuan aturan khsusus ABK, pemenuhan sarana prasarana dan bentuk evaluasi/penilaian. Perencanaan menggunakan pendekatan grass roots approach, yang Kepala Sekolah melibatkan para guru dan bawahannya untuk merumuskan sistem penyelenggaraan pendidikan inklusif. 

2. Pengorganisasian kurikulum meliputi: kurikulum yang digunakan maupun susunan mata pelajaran mengacu pada kurikulum 2013 yang dimodifikasi kompetensi dasar maupun materinya. Penyampaian materi lebih ditekankan kepada karakter maupun kehidupan sehari-hari dan terintegrasi antara mata pelajaran satu dengan lainnya. Pengorganisasian kurikulum menggunakan Integrated Curriculum, hal ini bisa dilihat dari susunaan mata pelajaran yang dikelompokkan dan antara mata pelajaran satu dengan yang lain muatan materinya terintegrasi. 

3. Implementasi kurikulum terbagi menjadi dua, yaitu implementasi tingkat sekolah, dalam hal ini kepala sekolah bertanggungjawab penuh terkait pelaksanaan, mengambil kebijakan, menyusun kalender akademik dan memantau perkembangan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dalam tingkat kelas, menjadi tanggungjawab guru mata pelajaran dan koordinator maupun guru BK, dalam hal ini difungsikan sebagai pendamping/pembimbing meliputi kegiatan proses pembelajaran maupun evaluasi atau penilaian perkembangan siswa, baik itu mingguan, bulanan maupun akhir semester. Implementasi kurikulum ini mengacu pada model TORI, hal ini bisa dilihat dari implementasi yang dilakukan mengarahkan peserta didik lebih kepada aspek terjadinya perubahan sosial dan juga dilakukan pengajaran menyesuaikan kebutuhan ABK tersebut. 

4. Evaluasi kurikulum dilakukan oleh guru mata pelajaran, guru BK, guru pembimbing, koordinator penyelenggara maupun kepala sekolah. Guru mata pelajaran maupun guru pembimbing melakukan evaluasi berupa tugas/tes dan pengamatan, baik itu mingguan, bulanan dan ahir semester. Koordinator penyelenggara mengevalusasi berdasarkan laporan dari para guru, untuk ambil kebijakan penanganan selanjutnya, kemudian kepala sekolah menerima laporan secara global untuk dievaluassi dan diambil kebijakan strategis, khususnya berkaitan langsung dengan lembaga. Evaluasi kurikulum pendidikan inklusif ini mengacu pada model evaluasi Educational System Evaluation, yang mana evaluasi ini objek evaluasi mencakup input (bahan, rencana, peralatan), proses dan hasil yang dicapai dalam arti yang lebih luas. 

SARAN 
1. Untuk meningkatkan efektifitas dan pengukuran yang tepat, hendaknya para guru mata pelajaran pendidikan inklusif membuat silabus dan RPP yang telah dimodifikasi. 
2. Perlunya tenaga pendamping di tiap-tiap kelas yang ada siswa ABK nya, hal ini guna memberikan pelayanan sesuai kebutuhaan agar bisa mengikuti proses pembelajaran di dalam kelas. 
3. Perlunya penambahan sarana prasarana penunjang yang lebih maksimal daan penambahan modul-modul pembelajaran serta media pembelajaran khusus untuk anak ABK. 



REFERENSI 

1. Buku 
Adriadi, Manajemen Pendidikan Inklusi MAN Maguwoharjo Depok Sleman Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Jurusan Kependidikan Islam. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2013. 

Alqur’an dan Terjemahan, Pustakan Al Hanan. 

Arikunto Suharsimi, Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan, Cet 5, Yogyakarta: Aditya Media: 2009. 

Armstrong Michael, Armstrong Handbook’s Of Management And Leadership; A guide to managing for results, 2ndedition, London and Philadelpia: Kogan Page, 2009. 

B. Suryosubroto, Tata Laksana Kurikulum, Cet ke 2, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005. 

Garnida Dadang, Pengantar Pendidikan Inklusif, Cet ke 1, Bandung: PT. Refika Aditama, 2015. 

H. Syaukani HR, Pendidikan Paspor Masa Depan; Prioritas Pembangunan dalam Otonomi Daerah, Jakarta: Nuansa Madani, 2001. 

H.B Siswanto, Pengantar Manajemen, Cet ke 12, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016. 

Hadi Sutrisno, Metodologi Research, jilid III, Yogyakarta: Andi Ofset, 1981. 

Hamalik Oemar, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Cet 3, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009. 

--------------------, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosyda Karya, 2006. 

Hasibuan Lias, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, Jakarta: GP Press, 2010. 

Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial; Kuantitatif dan Kualitatif, Cet 2, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010. 

J. R Raco, Metode Penelitian Kualitatif; Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya, Jakarta: Grasindo, 2010. 

Lay.Kekeh.Marentek, dkk, Manajemen Pendidikan Inklusif. Jakarta: Depdiknas RI, 2007. 

M. Ilyasin, Manajemen Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Sekolah Islam Terpadu, SamarindaP3M STAIN Samarinda, 2010. 

Murdjito, dkk, Pendidikan Inklusif. Jakarta: Baduose Media Jakarta, 2012. 

Narkubo Cholid, et. al., Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2003. 

Peraturan Menteri pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009. 

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. 

Rusman, Manajemen Kurikulum, Cet 3, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011. 

S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 2009. 

Sugiyono, Metode Penelitian Manajemen, Bandung: CV. Alfabeta, 2014. 

Sugiyono, Metode Penelitian Pedidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alvabeta, 2009. 

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, cet 8, Bandung: Alfabeta, 2009. 

Suhendra, Manajemen dan Organisasi dalam Realita Kehidupan, Bandung: CV. Mandar Maju, 2008. 

Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat: Ciputat Press, 2005. 

Tarsidi, Aksesbilitas lingkungan fisik bagi peyandang cacat. Bandung: Alfabeta, 2005. 

UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 

Wahyudin Dinn, Manajemen Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014. 

Usman Husaini, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan edisi 3, Jakarta Timur: PT Bumi Aksara, 2009. 

2. Jurnal 
Heka Raka Ardana, Manajemen Peserta Didik Sekolah Inklusif di Sekolah Menengah Pertama SMP PGRI Kecamatan Kasihan, Tesis. Yogyakarta: Program Studi Manajemen Pendidikan, Jurusan Administrasi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. 

Konvensi Hak-Hak Anak; Disetujui Oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-BangsaPada Tanggal 20 November 1989. 

Lokakrya Nasional Bandung 8-14 Agustus, Towards Inclucion Menuju Inklusi Deklarasi, 2004. 

N. Praptiningrum, Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus, Jurnal Pendidikan Khusus, Vol. 7, No. 2, November 2007. 

Prastiyono, “Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif (Studi di Sekolah Galuh Handayani Surabaya)”, dalam Jurnal Administrasi Publik edisi Juni No.1 Vol. 11, 2013. 

Sue Stubbs, “Inclusive Education Where There Are Few Resources”, Terj., Susi Septaviana R., Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber, (The Atlas Alliancemailto:C0-0rdinator@iddc.org.uk, 2002. 

Sunaryo, “Manajemen Pendidikan Inklusif; Konsep, Kebijakan, dan Implementasinya dalam Perspektif Pendidikan Luar Biasa”, dalam Jurnal PLB FIP UPI edisi Februari 2009. 

United Nations, Conventional on The Right of Person with Disabilities and Optional Protocol, 2007. 

[1]H. Syaukani HR, Pendidikan Paspor Masa Depan; Prioritas Pembangunan dalam Otonomi Daerah, Jakarta: Nuansa Madani, 2001, hlm 105. 

[2] Lihat UUD 1945 pasal 31 ayat 1 

[3] N. Praptiningrum, Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus, Jurnal Pendidikan Khusus, Vol. 7, No. 2, November 2007, hlm 32. 

[4]Lihat Konvensi Hak-Hak Anak; Disetujui Oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-BangsaPada Tanggal 20 November 1989. 


[5] United Nations, Conventional on The Right of Person with Disabilities and Optional Protocol, 2007, hlm 16-17. 

[7]Lokakrya Nasional Bandung 8-14 Agustus, Towards Inclucion Menuju Inklusi Deklarasi, 2004. 

[8] Alqur’an dan Terjemahan, Pustakan Al Hanan, hlm 357. 

[9] Asbabunnuzul dari QS. AN-Nuur ayat 61 ini adalah: pada masa itu masyarakat Arab merasa jijik untuk makan bersama-sama dengan mereka yang berkebutuhan khusus, seperti pincang, buta, tuli dan lainnya. Hal ini disebabkan cara makan mereka yang berbeda. Selain itu masyarakat Arab pada masa itu merasa kasihan kepada mereka yang berkebutuhan khusus tersebut karena mereka tidak mampu menyediakan makanan untuk diri mereka sendiri. Akan tetapi Islam menghapuskan diskriminasi tersebut melalui QS. An-Nuur ayat 61. Masyarakat tidak seharusnya membeda-bedakan atau bersikap diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus. 

[10] Prastiyono, “Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif (Studi di Sekolah Galuh Handayani Surabaya)”, dalam Jurnal Administrasi Publik edisi Juni No.1 Vol. 11, 2013, hlm 118. 

[11]Prastiyono, “Implementasi Kebijakan Pendidikan..., hlm 122. 

[12] Hasil wawancara dengan Bpk Sugiri yang dilakukan tanggal 24 April 2017 pukul 09.45 wita 

[13] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: GP Press, 2010), hlm 20 

[14] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran..., hlm 21. 

[15] Husaini Usman, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan edisi 3, (Jakarta Timur: PT Bumi Aksara, 2009), hlm 5 

[16] Michael Armstrong, Armstrong Handbook’s Of Management And Leadership; A guide to managing for results, 2ndedition, (London and Philadelpia: Kogan Page, 2009), hlm 3. 

[17] H.B Siswanto, Pengantar Manajemen, Cet ke 12, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016), hlm 18-19 

[18] UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 19. 

[19] S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum..., hlm 6 

[20] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Gp Press, 2010), hlm 38. 

[21] Suharsimi Arikunto, Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan, Cet 5, (Yogyakarta: Aditya Media: 2009), hlm 131 

[22] Rusman, Manajemen Kurikulum, Cet 3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm hlm 3 

[23] Dinn Wahyudin, Manajemen Kurikulum, cet 1, (Bandung: Remaja Rosda Karya: 2014), hlm 20. 

[24] Rusman, Manajemen Kurikulum, cet 3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2011), hlm 4 

[25] Rusman, Manajemen Kurikulum..., hlm 5 

[26] J.R Raco, Metode Penelitian Kualitatif; Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya, (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm 9. 

[27]Sugiyono, Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif..., hlm 8 

[28] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif..., hlm 51. 

[29] Sugiyono, Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif..., hlm 8 

[30] Sugiyono, Metode Penelitian Pedidikan..., hlm 337 

[31] Rusman, Manajemen Kurikulum..., hlm 77-78.


Tulisan ini telah terbit di Jurnal Al-Rabwah pada hal 59-76 edisi Vol. XIII No. 2 November 2019

Mukhtar

ORCID iD
https://orcid.org/0000-0002-6117-1108

No comments:

Post a Comment

Nama:
Eamil: