Aku Sang Biduk, berdiri di tengah cita-cita yang mebumbung tinggi,
hingga mungkin saking tingginya, seolah-olah
mimpi itu hanya sebuah bunga kehidupan karena keterbatasanku. Aku Sang pemimpi kehidupan yang berlari
kencang untuk mengejar sebuah cita-cita, namun asa itu seolah hanyalah sampah
berharga yang mengotoriku, karena garis hidupku yang terlalu berat untuk sebuah
cita-cita.
Betapa bahagianya orang-orang yang bisa melanjutkan kuliah, dengan
almamater kebanggaannya dia bisa mengasah kemampuan dan mengembangkan bakat
minatnya di sebuah Perguruan Tinggi. Kapan aku bisa mengikuti jejak-jejak
mereka agar kelak aku menjadi orang yang pandai dan bermanfaat bagi Orang tua,
Nusa, Bangsa dan Agama. Mungkin memang nasibku terlahir dari seorang petani
yang harus banting tulang demi mempertahankan hidup, jangankan untuk
berkembang, bisa bertahan hidup pun Alahmadulillah.
Tak tersadar lamunanku sudah melambung ke
mana-mana, bak langit tak terlihat batasnya, bak lautan tanpa tepi, hingga aku
terkaget saat Ibu memanggil Ku. “Nak, tolong ikat kangkung ini”. Enggih Bu,
sahutku sambil menghempaskan nafas untuk lepas dari lamunan yang menyelimuti. Tak
biasanya juga Ibu memberikan nasehat disaat petang merangsek, mungkin Ibuku
tahu akan lamunanku, tiba-tiba, “Nak, kita harus prihatin seperti ini, tidak
apa-apa banting tulang sampai petang begini di tengah sawah dengan kerumunan
nyamuk yang menggigit tanpa belas kasihan, beruntung kita masih bisa mencukupi
kebutuhan makan walaupun seadanya, coba lihat di luar sana, masih ada yang
lebih menderita dari kita, betul kan?”, tambahnya. “Enggih Bu”, jawabku sambil
mengangkat seikat besar kangkung yang akan dibawa ke pasar esok hari.
Setelah sampai di rumah, sembari makan malam
bersama, Aku berbicara tentang keinginnku untuk melanjutkan kuliah. Dengan
mulut seolah terkunci karena keadaan hidup yang tidak memungkinkan, Kupaksakan
untuk berbicara dengan kedua orang tua. “Pppaak…, Bbuu…, mohon maaf, setelah
lulus SMK nanti, Saya ingin melanjutkan kuliah, kira-kira menurut Bapak dan Ibu
bagaimana?”, tanyaku sambil menikmati nikmatnya sepiring nasi berteman sayur
kangkung dan sepotong tempe. “Ya bagus itu, tapi biayanya pake apa, kondisi
kita masih seperti ini, tapi mudah-mudahan itu bisa tercapai Nak, Bapak dan Ibu
akan berusaha dan berdoa semaksimal mungkin untuk cita-citamu itu”, jawab laki-laki
yang sudah mulai renta sambil meneteskan air mata cita-cita anaknya.
Seusai makan malam, Aku langsung menuju ke
kamar untuk merebahkan badan sambil menatap langit-langit rumah. Dalam sedikit
melamun, tiba-tiba mimpi itu kembali datang. “Ya Allah, Engkau yang menciptakan
kehidupan, Engkau pula yang memelihara. Engkau yang menggariskan mimpi dan
cita-cita makhluk hidup, Engkau pula yang akan mewujudkan. Untuk itu ya Allah
seandainya engkau berkehendak mimpiku jadi kenyataan, maka kabulkanlah mimpi
ini”, batinku dalam kalutnya lamunan. “Treeett…treett…treettt….”, tiba-tiba
suara hp butut ku berbunyi, pertanda ada panggilan masuk, ternyata kakak ku
yang menelepon. “Asalamualaikum.., ada apa Kak?”, tanya ku, kebetulan yang
telpon kakak ku yang selalu menyemangati cita-cita ku. “Katanya kamu pingin
kuliah Dik, apa benar?”, tanyanya dengan nada seolah memberi harapan. “Iya Kak,
tapi ga tahu bisa kesampaian atau tidak, kan kondisi kita begini kak”, jawab ku
dengan nada pasrah. “Ya mudah-mudahan kesampaian Dik, kamu harus yakin, kami,
kakak-kakak mu akan berusaha keras untuk membantu mewujudkan mimpimu”,
jawabnya. “Ya udah kamu besok minta ijin ke Bapak dan Ibu utnuk daftar kuliah
ya!!, imbuhnya. “Baik kak, terimakasih”, sahutku penuh harapan. “Ya Allah,
mudah-mudahan ini pintu jalan yang memang engkau berikan kepada ku, apa yang
menjadi impian ku tercapai”, gumam ku sembari terus menatap langit-langit rumah
yang tidak mampu menjawab harapanku.
Keesokan harinya Aku pergi ke warnet untuk
mencari informasi dan mendaftar lewat online. Beberapa hari kemudian, setelah
mendaftar dan menadapatkan jadwal ujian seleksi, kemudian Aku pergi ke sebuah kampus
yang jaraknya kurang lebih 70 km, kalau ditempuh dengan kendaraan bermotor
kurang lebih memakan waktu 7 sampai 8 jam. Tepat pukul 15.00 wib, dengan motor
butut yang larinya tidak kenceng lagi, tanpa ragu ku pacu kendaraan dengan
hanya bermodalkan uang untuk bayar pendaftaran di sebuah Perguruan Tinggi
terkenal di Semarang. Tanpa memperdulikan kondisi motor tuanya rusak/tidak,
bisa makan atau tidak di pertengahan jalan, yang penting bisa daftar di kampus
harapan. “Huuff….poknya Aku harus ke sana, ga tahu apa yang akan terjadi di
jalan, yang penting bisa ikut ujian seleksi”, pikir ku karena saking
bahagianya. Setelah beberapa jam perjalanan ternyata di tengah jalan hujan
lebat, angin kencang berbalut petir yang menggelegar terus mengiringi
perjalananku, tapi itu tidak menyulutkan semangat ku untuk
berhenti/berteduh.
Dengan kondisi badan yang mulai menggigil, Aku
terus mencoba melanjutkan perjalanan, namun, mungkin karena derasnya hujan yang
mengguyur badan letih ini, badan menjadi gemetar karena kedinginan dan mungkin
perut belum terisi makanan, hingga akhirnya kondisi itu memaksaku untuk
berteduh. Tanpa berpikir panjang, lagian juga sudah tengah malam dan karena
tidak ada uang untuk bayar penginapan, Aku langsung cari masjid/mushola untuk
tempat berteduh dan tidak lama kemudian kudapati tempat berteduh gratis
tersebut. “Misi Pak, Saya mau numpang berteduh sekalian istirahat di masjid
ini, boleh tidak Pak?”, tanyaku ke lelaki paruh baya yang menjaga masjid.
“Silahkan saja De, tapi di terasnya aja, soalnya pintu ini mau ku kunci”,
jawabnya sambil merapatkan pintu masjid. “Kalau di dalam bisa ngga ya Pak
soalnya hujan deras ni?”, tanyaku kembali dengan menahan dingin yang
menyelimuti. “Gak bisa De, paling di terasnya aja, jawabnya dengan nada ketus
dan wajah kusam sambil beranjak meninggalkan masijid. “Ya udah Pak kalau gitu,
terimakasih”, sahutku dengan nada kecewa.
Selepas penjaga masijid pergi, kemudian Aku
rebahkan badan yang basah kuyup ini di teras masjid yang sangat sempit,
sehingga separuh badan tetap terkena derasnya hujan. Dan dengan berselimut
keset masjid yang juga basah kuyup, ku paksakan untuk tidur dan menghilangkan
lelah yang memuncak. Tanpa terasa, tiba-tiba kokok ayam membangunkan tidur ku,
dan itu pertanda fajar pagi telah muncul. “ Alhamdulillah ya Allah, dengan baju
basah kuyup gini dan di bawah guyuran hujan ternyata Aku bisa tidur, rasa
capeknya hilang, walaupun badan ini tetap menggigil”, gumam ku.
Selepas sholat subuh, kemudian Aku melanjutkan
perjalanan yang mungkin masih membutuhkan waktu 3 jam lagi. Namun, setelah
sampai di tempat ujian, ternyata Aku ketinggalan beberapa mata pelajaran yang
diujikan, hingga akhirnya hanya mengikuti ujian seleksi 2 mata pelajaran saja. “Aduuhh…ko
bisa begini ya, mungkin kalau tadi malam tidak berteduh, pasti tidak
ketinggalan ujian”, keluhku seraya menyesal. Selesai mengerjakan soal-soal
ujian, dengan perasaan letih dan lapar karena dari kemarin belum terisi makanan,
Aku langsung pacu motor butut untuk pulang. “Rasanya ga mungkin lolos di kampus
ini, mata pelajarannya aja tidak bisa diikuti semua”, gumam ku sembari menelan
kecewa yang mendalam.
Sesampai di rumah, Aku pun langsung menelepon
kakak yang ada di perantauan, di pulau seberang. “Kak, Saya tadi ketinggalan ujian
seleksi, kira-kira ge mana ya Kak?”, tanyaku dengan nada mengeluh. “Kok bisa Dik?,
di kampus-kampus negeri sudah tutup semua, makannya lain kali diperitungkan
dengan matang agar siap, dah jauh-jauh, sia-sia lagi. Ya udah besok kamu ku
daftarkan ke kampus swasta di kota pelajar ya, jangan sampai telat lagi
ujiannya nanti..!!!, jawab kakak ku dengan nada sedikit kecewa dan marah. “Iy
Kak, jawabku singkat.
Seminggu berlalu menunggu kabar dari Kakak
dengan harapan yang tinggi, akhirnya kabar baik pun menghampiri, katanya Aku
lolos berkas dan lusanya ikut ujian seleksi di kampus swasta namun cukup
terkenal. Dua hari setelah mendapat kabar, Aku pun berangkat menuju kampus itu,
lagi-lagi dengan motor butut yang sepionnya pecah sebelah. Tiga hari kemudian setelah
mengikuti ujian seleksi ternyata namaku muncul di website resmi kampus tersebut
dan dinyatakan diterima. “Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah menjawab doa dan
usaha ku serta orang-orang yang menyayangiku, mimpi dan harapan yang sulit
digapai akhirnya dapat terwujud berkat Ridho Mu”, batinku dengan girang.
“Dengan begini, mau tidak mau Aku harus
meninggalkan kampung halaman menuju kota pelajar”, pikirku dengan sedikit berat
hati . Hari demi hari, minggu demi minggu akhirnya Aku jalani kehidupan dengan
bertaruh nama baik dan masa depan, karena kehidupan di kota pelajar tersebut
penuh dengan nuansa glamour dan hedonisme yang menjadi tantangan tersendiri
bagiku, seorang anak desa miskin yang baru keluar dari bumi kelahiran. Tidak
hanya itu, Aku pun harus bertahan hidup dengan kondisi seadanya, walaupun makan
hanya dengan kecap, Aku harus mampu membuktikan untuk menjadi sang juara dalam
kerasnya medan kehidupan serta harus menjadi sang surya yang mampu mengentaskan
keluarga dari cengkeraman kemiskinan. Man-man, tugasmu yang kemarin dah selesai
belum?”, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilku dan membangunkanku
dari lamunan.
No comments:
Post a Comment
Nama:
Eamil: