Oleh: Mukhtar (Wakil Ketua IKA PMII Kutai Timur Bidang Riset dan Teknologi)
Membaca makna Tahun Baru
Islam
Selasa tanggal 11 September 2018 bertepatan dengan 1
Muharram 1440 H, yang mana Tahun Baru Islam atau
juga dikenal dengan tahun baru hijriyah merupakan
hari yang sangat monumental bagi umat Muslim khususnya hingga diperingati
dengan berbagai macam cara di setiap kehadirannya. Dalam islam, hari tersebut merupakan tonggak sejarah yang sangat
penting, karena pada hari itu Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah
untuk menyebarkan ajaran Islam dan membangun tatanan kehidupan yang baru.
Disebut tatanan kehidupan yang baru karena sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah
ke Madinah, kondisinya sangat heterogen dan jauh dari kedamaian. Hal ini bisa
dilihat dari, pertama, kondisi
sosial budaya di Madinah terdiri dari 3 komunitas besar, Yakni Yahudi, Arab
Pagan, dan Penganut Kristen. Pada sisi lain, Madinah sebelum kedatangan Nabi SAW
sering terjadi peperangan antar kabilah yang berkepanjangan, misalnya saja
perang Bu’ats antara suku Aus dan Khazraj (Syafiyyurrahman Almubarakfuri: 127).
Kedua, kondisi politik di Madinah tidak mencerminkan toleransi antar
sesama, penduduk kota Madinah kehidupannya tidak teratur yang diakibatkan oleh
multi golongan yang belum bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam
pemerintahan, hal ini bisa dilihat dari gesekan dan peperangan yang terjadi
berkepanjangan karena memperebutkan kekuasaan, (Suyuti Pulungan: 40, 2014). Ketiga,
kesenjangan ekonomi antar golongan yang semakin tinggi, mengingat Yahudi
cukup pintar mencari sumber penghidupan dan mata pencaharian serta mampu
memainkan perannya dalam mengendalikan ekonomi dengan cara riba
(Syafiyyurrahman Almubarakfuri: Kathur Suhadi: 1997, 127).
Begitu Nabi Muhammad SAW Hijrah ke Madinah dan menebarkan ajaran Allah
SWT, kehidupan di Madinah berubah drastis. Hal ini ditandai dengan munculnya
Piagam Madinah yang sangat fenomenal. Dengan disahkannya Piagam Madinah oleh
berbagai kelompok dan agama melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang makmur dan
penuh toleransi serta persamaan derajat. Kesepakatan yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW dengan mereka ini bertujuan agar terjaminnya
sebuah keamanan dan kedamaian, juga untuk melahirkan sebuah suasana harmonis
dan kondusif, saling membantu dan toleransi di antara golongan tersebut, hingga
terciptalah Negara yang jauh dari permusuhan antar golongan (Ahmad al-Usairy:
105). Menurut Muhammad Al-Ghazali, persaudaraan
ini dimaksudkan agar fanatisme jahiliyah menjadi cair, tidak ada yang dibela
kecuali islam, selain itu disparitas dan primordialisme antar keturunan/suku,
warna kulit, dan daerah menjadi hilang, tidak ada yang merasa lebih unggul dan
lebih rendah kecuali karena ketakwaannya (Syafiyyurrahman Almubarakfuri: Kathur
Suhadi: 1997, 127).
Semangat Tahun Baru Islam
Sebagai Penguh Toleransi dan Kesatuan NKRI
Dengan diperingatinya Tahun Baru Hijriyah, 1
Muharram 1440, hendaknya ini menjadi kilas balik bagi seluruh masyarakat
Indonesia untuk menyerap makna dan pelajaran-pelajaran yang terkandung di
dalamnya, salah satunya adalah tentang toleransi dan persamaan derajat. Terlebih
lagi kondisi masyarakat Indonesia hari ini yang dari hari ke hari disuguhi
informasi-informasi yang penuh muatan adu domba, fanatisme golongan, isu-isu
primordial, bahkan caci maki dan hujatan antar sesama anak bangsa.
Cukup terekam jelas dalam jejak digital, akhir akhir ini
informasi-informasi yang berseliweran di media sosial disertai dengan caci maki,
argumentasi agama, saling menyalahkan, bahkan menjamurnya hoax tidak
hanya dilakukan oleh orang-orang yang berkepntingan, melainkan juga oleh
masyarakat secara umum, seolah-olah hal tersebut menjadi komoditas yang
menguntungkan. Misalnya saja dikutip dari liputan6.com, hasil penelitian di
Amerika, orang berpendidikan paling banyak sebar hoax. Lebih dari itu,
laporan pengaduan konten negatif yang ditujukan pada Kementerian Komunikasi dan
Informatika pada tahun 2017 meningkat secara signifikan hingga mencapai 32 ribu
dalam kurun waktu 7 bulan. Dikutip dari cnnindonesia.com, konten berbau SARA
dan ujaran kebencian mencapai 5.142 pada Januari 2017.
Sementara itu, Masyarakat Telematika Indonesia
(Mastel) merilis survei tentang informasi palsu (hoax) yang tengah
marak di Tanah Air, sumber utama peredaran hoax adalah media sosial
(liputan6.com).
Tidak berlebihan jika ujaran kebencian, saling ejek dan menguatnya isu
primordial serta menjamurnya hoax, lambat laun akan menjadi ancaman
tersendiri bagi keutuhan NKRI dan berkecamuknya konflik horisontal. Lihat saja
Mesir kala itu, Presiden Mesir Hosni Mubarok dapat digulingkan pada tahun 2011
akibat revolusi yang digerakkan melalui media sosial. Bukankah dalam islam telah diajarkan tentang
pentingnya persatuan dan persaudaraan?, Allah SWT berfirman dalam surah Ali
Imran: 103, yang artinya “Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara”. Al Qurthubi dalam Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an berkata
tentang tafsir ayat ini,“Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan persatuan dan melarang dari
perpecahan. Karena sesungguhnya perpecahan merupakan kebinasaan dan al
jama’ah (persatuan) merupakan keselamatan”.
Tentu hal ini harus disikapi dengan bijak oleh seluruh lapisan
masyarakat, dengan peran dan kaspasitasnya masing-masing. Misalnya saja
pemerintah menyikapi dengan kebijakan-kebijakan yang mengutamakan keadilan dan
demi tegaknya NKRI, masyarakat harus mulai cerdas dan merenungi betul bagaimana
pentingnya persataun yang diajarkan oleh Nabi SAW serta di momen bulan Muharram
ini tentunya menjadi waktu yang sangat penting untuk memetik ibrah dari sebuah
perjuangan untuk membangun peradaban, seperti halnya juga yang telah dilakukan
oleh para pahlawn Nasional dulu. Tak ketinggalan pula tentu peran tokoh agama
dan tokoh masyarakat sangat diperlukan dalam hal ini. Kharisma dan ketokohannya
tentu sangat didengar masyarakat, untuk itu peran serta tokoh agama dan
masyarkat dibutuhkan untuk bersama-sama mengajarkan pentingnya persatuan dan
menghindari perpecahan akibat isu SARA, isu primordial, hoax dan
sebagainya. Hal ini bisa dilakaukan misalnya melalui mimbar jumat bagi umt
islam, mimbar kebaktian bagi nasrani dan sebagainya secara kontinu. Dengan
peran serta seluruh elemen masyarakat, para tokoh agama, pemerintah dan tokoh
masyarakat secara kontinu untuk bersama-sama mengedepankan kepentingan Bangsa
dan tegaknya NKRI, tidak menutup kemungkinan penyebaran hoax, ujaran
kebencian, dan isu-isu primordial lambat laun akan berkurang dan tentunya kita
bisa memetik buah manis dari semua itu yakni kedamaian dan kokohnya NKRI.
Tulisan ini telah terbit di Kaltim Post dengan judul "Ibrah Tahun Baru Islam"
Amin semoga terwijud.....thanks inspirasinya mas bro....sukses selalu
ReplyDelete