Kalau kita mendengar kata-kata hukum, mungkin dulu
kita akan merasa ngeri dengan detuk jantung yang makin menguat, namun, saat ini
kalau kita mendengar kata-kata hukum, kita akan merasa biasa saja, bahkan hukum
itu ibarat mainan anak-anak yang bisa dimainkan seenaknya saja oleh pemiliknya.
Betapa tidak, sudah beberapa kali bangsa Indonesia disajikan kasus-kasus yang
berkaitan dengan hukum yang mengundang banyak tanya, mulai dari penegakan hukum
yang dirasa tebang pilih, hukum hanya milik orang miskin, ketimpangan dalam hal
pelayanan terhadap terpidana, kasus jual beli hukum dan sebagainya.
Lihat saja akhir-akhir ini bangsa Indonesia (bangsa
yang katanya ramah, humanis) disuguhi kasus seorang nenek tua yang dipaksa
menginap di hotel prodeo gara-gara didakwa melakukan pencurian kayu sebanyak 7
batang. Bahkan ironisnya, dakwaan
jaksa menjerat nenek Asyani dengan Pasal 12 junto Pasal 83 Undang-Undang (UU)
Tahun 2013 tentang Illegal Logging
dengan ancaman 5 tahun penjara. Dan bukan sebuah hal yang baru ketika orang miskin bersentuhan dengan
hukum (terkena kasus pelanggaran hukum) ia akan dipenjarakan.
Mari kita lihat lembaran-lembaran
suram potret hukum di Indonesia yang tumpul ke atas dan runcing ke bawah. Kita
masih ingat kasus sandal jepit, atau kasus pencuri kakao? Ya, tentu telinga
kita bagi masyarakat miskin tidak bisa lupa dengan kejadian tersebut karena
khawatir dirinya juga bisa bernasib sama. Nenek Minah, seorang nenek miskin yang dijatuhi hukuman selama 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Dia dinyatakan
bersalah karena memetik 3 buah kakao yang harganya tidak lebih dari Rp 10.000. Gara-gara kejadian tersebut, akhirnya Nenek Minah
tersandung kasus hukum dan terpaksa mencicipi pengapnya ruang tahanan. Lalu kasus seorang siswa SMK yang dipenjara 5 tahun karena mencuri sandal
jepit milik seorang BRIPTU.
Kemudian kita bandingkan dengan orang-orang berduit
atau “mempunyai kuasa” yang tersandung kasus hukum. Misalnya saja kasus
pelanggaran hukum yang menimpa anak seorang menteri Hatta Rajasa waktu itu, dia
lepas begitu saja seolah-olah telah tidak melakukan pelanggaran hukum, padahal
dalam dakwaannya dia telah melanggar pasal 283, 287, 310 Undang-Undang Lalu
Lintas Nomor 22 Tahun 2007, dengan ancaman 6 tahun penjara. Namun yang terjadi
malah sebaliknya anak sang menteri tersebut tidak dipenjara dengan alasan
trauma dan keluarganya memberikan jaminan anaknya akan kooperatif. Kemudian
beberapa waktu sebelumnya, kasus Gayus Tambunan yang dengan bebas bisa
jalan-jalan ke luar kota, padahal dia didakwa melakukan tindakan merugikan
Negara sebesar Rp 124 M. Tentu kita juga belum lupa akan mewahnya fasilitas
penjara Artalyta Suryani, seorang terdakwa kasus penyuapan jaksa terkait Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) sebesar 660.000 dolar AS.
Memang bagaimanapun kasus pencurian baik itu kecil maupun besar atau pelanggaran hukum lainnya merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Tetapi kita tidak boleh
lupa bahwa hukum juga memiliki asas kemanusiaan seperti pada UU
NO 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
mensyaratkan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan asas kemanusiaan. Sangat miris ketika mendengar seorang nenek tua renta harus
berurusan dengan hukum gara-gara 3 buah kakao atau kasus nenek Asyani bernasib
sama gara-gara 7 batang kayu jati, sungguh tidak adil bukan?.
Tidak bisa dielakkan bahwa kasus-kasus tersebut
memperlihatkan dengan jelas hukum di Indonesia belum bisa berdiri tegak. Hukum di Indonesia bagai pisau
yang tumpul di atas namun tajam di bawah. Ketika orang yang terlibat adalah
orang berpangkat atau banyak pundi-pundi uang, maka bisa dipastikan dia akan aman dari tuntutan hukum, namun sebaliknya
ketika orang yang tersandung kasus
hukum adalah rakyat biasa, maka hukum seakan berdiri tegak dan bertindak seadil-adilnya.
Memang Indonesia merupakan negara hukum, hal ini diisyaratkan dengan jelas pada pasal 27 ayat 1, bahwa semua warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Baik dia orang kaya, miskin, anak pejabat tinggi ataupun petani, dia orang melarat
ataupun konglomerat, ketika mereka melakukan kesalahan, maka mereka sama-sama bertanggungjawab seadil-adilnya di mata hukum tanpa pengecualian. Namun yang terjadi
hari ini adalah aturan perundang-undangan yang ada seolah hanya menjadi
manuskrip karya-karya wakil rakyat yang tidak berguna bagi para konglomerat
atau pejabat. Padahal jelas kalau kita berbicara perlakuan hukum, pasal 28 ayat
1 UU 1945 juga jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di
mata hukum.
Kalau berkaca dari kasus yang sangat diskriminatif di atas, maka ada
kemungkinan hukum berlaku deskriminatif untuk orang-orang miskin, yang akhirnya
melumpuhkan naluri kemanusiaan para penegak hukum ataupun orang yang melek
hukum dan mempunyai kapasitas di bidangnya. Pasal 28 ayat 2 yang menyatakan
setiap orang berhak bebas dari perlakuan deskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapat perlindungan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif hanya
menjadi dongeng surga bagi warga miskin dan sebaliknya menjadi angin syurga
bagi yang mampu “membelinya”. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah hukum ini
milik siapa?
Seandainya Indonesia ini benar-benar dikatakan sebagai Negara hukum dan
konsisten melaksanakan amanah UUD 1945 khusunya masalah hukum, maka apapun
latar belakang pelanggar hukum maka harus ditindak tegas. Untuk mewujudkan hal
ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan antara laian:
Pertama melakukan perombakan birokrasi institusi secara berani dan transparan agar
orang-orang yang menempati posisi strategis di bidang hukum betul-betul orang
yang mempunyai integritas dan moralitas tinggi. Kedua orang-orang yang tahu hukum dan mempunyai kewenangan untuk itu,
misalnya persatuan advokat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan semacamnya ketika
melihat seperti halnya kasus nenek Minah ataupun nenek Arsyani yang sangat
kontradiktif dengan kasus anak menteri atau gayus tambunan dan artalyta, maka
LBH atau semacamnya harus ikut mengambil bagian untuk mengawal kasus-kasus
orang miskin agar mendapatkan hak yang sama di mata hukum. Ketiga, peran media juga sangat dibutuhkan untuk mengontrol
kebijakan-kebijakan yang memunculkan persoalan. Berkaitan dengan kasus-kasus
ketimpangan penegakan hukum, media diharapkan terus menerus mengangkat
permasalahan yang ada ke permukaan seobjektif mungkin agar masyarakat tahu
betapa lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Dan dengan media tersebut pula,
paling tidak dapat mempengaruhi orang lain untuk simpati terhadap kasus-kasus
yang menimpa orang miskin dan tidak mampu berbuat apa-apa di depan hukum. Keempat gerakan social secara kolektif
oleh seluruh lapisan masyarakat, misalnya membuat petisi melalui media social
dan sebagainy pun dapat dilakukan sebagai control sosiala. Akhirnya, penulis
berharap kasus-kasus lemahnya supremasi hukum tidak muncul lagi di bumi
tercinta ini yang dengan lantang dan tegas mengatakan Indonesia adalah Negara
hukum.
tulisan ini telah terbit di Kaltim Post
Hukum adalah pedang, jika begitu masalahnya jangan tanya pada pedangx. Tetapi pada orang yang diamanahi pedang tersebut.
ReplyDeleteLucunya, kalau hukum untuk orang miskin, hakim untuk orang kaya..hehe
ReplyDeleteSelamat datang di Negeri wkwkwkwWk Land
ReplyDelete