22 Oktober menjadi sejarah baru dalam peringatan hari Besar di Indonesia, pasalnya pada tanggal tersebut telah ditetapkan menjadi Hari Santri Nasional. Lahirnya Hari Santri Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional tentu dengan berbagai latar belakang dan pertimbangan, diantaranya menurut menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, dikutip dari laman kompas.com, tanggal 22 Oktober 1945 merupakan momen ketika Kiai Hasyim Asy'ari mengumumkan fatwanya yang disebut sebagai Resolusi Jihad.
Lebih jauh, Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) KH Abdul Ghoffar Rozien menjelaskan ada 3 alasan mendasar ditetapkannya Hari Santri Nasional, Pertama sejarah tentang Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari yang menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk bergerak bersama, berjuang melawan pasukan kolonial, yang puncaknya pada 10 Nopember 1945. Kedua jaringan santri telah terbukti konsisten menjaga perdamaian dan keseimbangan, perjuangan para kiai jelas menjadi catatan sejarah yang strategis, bahkan sejak kesepakatan tentang darul islam (daerah Islam) pada pertemuan para kiai di Banjarmasin 1936. Ketiga kelompok santri dan para kiai terbukti mengawal kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal ini dibuktikan oleh para kiai dan santri di garda depan untuk mengawal NKRI, memperjuangan Pancasila dengan bukti pada Muktamar NU di Situbondo 1984 tentang rumusan Pancasila sebagai dasar Negara, NKRI sebagai bentuk final harga mati yang tidak bisa dikompromikan (sumber: nuonline.or.id).
Baca: potret pendidikan Kutim
Dibalik munculnya Hari Santri Nasional, tentu ini menjadi hikmah bagi semua warga Negara tentang pentingnya mengingat dan menghargai sejarah, seperti halnya yang diungkapkan oleh Presiden pertama Indonesia Soekrano yang lebih dikenal dengan ungkapan Jas Merah. Ungkapan tersebut menunjukkan betapa pentingnya menghargai dan mengingat sejarah sebagai kaca benggala dalam meraih masa depan bangsa.
Hal tersebut sangat relevan jika dilihat dari tinjauan psikologis, pasalnya dengan mengingat sejarah atau pengalaman yang telah lalu bisa mempengaruhi faktor dan tingkah laku manusia. Azwar mengatakan bahwa apa yang telah dan sedang dialamai seseorang, akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan seseorang terhadap stimulus sosial, tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap (Azwar, 2013).
Kalau dilihat di permukaan, kemunculan Hari Santri Nasional telah mampu merubah dan menggerakkan puluhan ribu umat manusia untuk berbondong-bondong melaksanakan kirab santri, upacara, bahkan dari PBNU sendiri mengadakan 1 Miliyar istighotsah dan sholawat nariyah untuk kedamaian Indonesia secara serentak tepat di malam hari santri. Selain itu, di ambang pintu perayaan Hari Santri Nasional 2018, Rancangan Undang Undang Pesntran telah disahkan. Hal ini tentu juga menjadi bagian dari perjuangan para santri untuk turut membangun bangsa mulai dari pesantren. Lebih dari itu, menurut penulis, dengan adanya peringatan Hari Santri Nasional, ada makna dan semangat para santri dan ulama dulu dalam berjuang untuk diimplementasikan dalam kehidupan hari ini.
Dulu, para ulama dan santri berjuang sampai titik darah penghabisan pada saat penjajahan belanda, baik pada masa peperangan yang dimotori Pangeran Diponegoro pada tahun 1818 hingga resolusi Jihad yang dimotori Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari pada tahun 1945, memunculkan semangat yang sama yakni ingin terbebas dari penjajahan (Zaenul Milal Bizawie, 2014).
Dan kini, hemat penulis, peran, semangat dan perjuangan yang telah diajarkan oleh para pendahulu masih tetap relevan untuk terus diperjuangkan dalam kondisi Indonesia yang penuh caci maki, menjamurnya hoaxs, meningkatnya intoleran dan tumbuh suburnya radikalisme. Misalnya saja data tentang hoaxs, menurut Direktur Informasi dan Komunikasi Badan Intelejen Negara (BIN) Wawan Purwanto, informasi hoaxs mencapai 60 persen dari konten media di Indonesia (kompas.com). Sementara itu, dari dunia pendidikan, hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, menunjukan data sebanyak 57% guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain, sedangkan 37,77% berkeinginan untuk melakukan perbuatan intoleran atau intensi-aksi (tempo.co). Jika dalam dunia pendidikan yang bertanggungjawab untuk mencetak generasi bangsa kondisinya saja demikian, lantas kepada siap lagi kita berharap?
Memang sudah menjadi rahasia umum, kini Indonesia seolah-olah terbelah menjadi dua kutub yang saling bersebrangan, saling menghujat, saling menyalahkan dan merasa dirinya paling benar. Hal ini jika dibiarkan, maka Indonesia yang dibangga-banggakan dengan kebhinekaannya, tidak menutup kemungkinan berubah baknya kerajaan yang saling “membunuh”, adu kekuatan antar kelompok dan golongan.
Untuk itu, menurut penulis, dengan hadirnya Hari Santri Nasional menjadi semangat tersendiri bagi para santri untuk hadir di tengah-tengah kekacauan tersebut dan menjadi penyambung dua kutub yang berseberangan. Kini, santri tidak hanya berada di balik layar dalam menjaga kesatuan NKRI, melainkan harus berdiri di tengah-tengah masyarakat, berinteraksi dengan kaum melineal yang lekat dengan kemajuan teknologi untuk bersama-sama menebar perdamaian, merawat toleransi dan menyelamatkan generasi bangsa dari radikalisasi. Para santri tidak hanya lagi belajar mengaji, melainkan juga harus menyiapkan diri untuk berperan lebih menjawab tantangan global yang semakin kompleks sekaligus berdiri di garda terdepan dalam merawat NKRI.
Misalnya saja, selain mengaji, para santri kini harus belajar teknologi, selain mengaji, santri harus belajar ketrampilan dan keahlian kaitannya dengan peningkatan ekonomi, bahkan selain mengaji, para santri juga disiapkan untuk menjadi politisi agar pemimpin-pemimpin selanjutnya benar-benar orang pilihan dengan mental, adab yang sudah teruji. Dengan demikian, penulis yakin, jika santri yang dari awal sudah ditempa ajaran untuk rendah diri, saling menghormati dan ta’dim pada kiyai serta akhlak yang mumpuni, maka jika ditambah dengan ketrampilan-ketrampilan dan keahlian diri, maka Indonesia tetap akan menjadi sebuah bangsa yang besar tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa yang beragam dan penuh toleransi.
tuklisan ini telah terbit di Kaltim Post dengan judul "Hari Santri Nasional Dan Semangat Menjaga Kesatuan NKRI"
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
ReplyDeleteSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^