Saldi di Persimpangan Niat dan Tujuan (2)

bertambah yang dilakukan tidak hanya untuk Allah, apa yang Saldi rasakan saat ini?”, tanya Kiyai Busro. “Ada perbedaan dengan sebelum-sebelumnya Yai, saya merasa lebih tenang dan tambah banyak pengetahuan, serta aktifitas keagamaan saya saat ini juga tetep konsisten walaupun apa yang menjadi hajat saya kemarin kelihatannya akhir-akhir ini makin jauh dan tidak tahu bisa terwujud atau tidak, tapi saya masih bingung Yai apa Gusti Allah menerima amal saya yang cengeng seperti ini Yai?”, jawab Saldi dengan lugu, karena memang Saldi dikenal sebagai laki-laki yang ulet, cerdas, namun polos dan lugu.

“Diterima gak ditrima yang penting ibadah”, ujar Thofa dengan gaya cengengesan yang diam-diam mendengarkan curhatan Saldi. “Wah sia-sia dong kalau gitu ibadahnya, percuma saja capek-capek ibadah.!”, sela Kiki yang tidak setuju dengan statement Thofa.

“Gini nak, mengenai masalah itu, Ibnu Al-Qayyim rahimahullah pernah berkata, bahwa sebagian ulama menyatakan jenis amalan seperti ini ada tiga bentuk,

Pertama, yakni niat pertamanya dalam beramal adalah ikhlas, kemudian di tengah perjalanan ibadah dimasuki oleh riya` dan keinginan kepada selain Allah. Maka yang menjadi patokan di sini adalah niatnya yang pertama selama niatnya itu tidak dibatalkan dengan niat yang tegas untuk selain Allah. Jika dia membatalkannya maka hukumnya sama seperti memutuskan dan membatalkan niat di pertengahan ibadah.

Kedua, sebaliknya, yaitu niat awalnya adalah untuk selain Allah, kemudian di tengah ibadahnya dia merubah niatnya untuk Allah. Maka yang seperti ini, amalannya yang sebelumnya tidak mendapat pahala dan yang mendapat pahala hanyalah amalan sejak dia merubah niatnya.

Ketiga, yakni orang memulai ibadahnya dengan meniatkan untuk Allah dan untuk manusia secara bersamaan. Misalnya dia mengerjakan ibadah itu untuk menunaikan kewajibannya sekaligus untuk mendapatkan balasan dan apresiasi dari manusia. maka yang seperti ini, amalannya tidak diterima.

Hal itu karena keikhlasan adalah memurnikan niat dalam menaati Sesembahan, dan ibadah tidaklah diperintahkan kecuali dengannya. Namun ada juga pendapat lain dari Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitab Al Qoulul Mufid Syarh Kitab At Tauhid (3/149) dan dalam Majmu’ Fatawa (10/720), beliau berkata.....bersambung