Sumber:suaralsmonline.com |
Akhir-akhir ini “drama politik” dalam negeri kian
menjadi-jadi. Pasalnya dua institusi penegak hukum Negara yang sangat dihormati
yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polisi Republik Indonesia (POLRI) saling
serang dan menyudutkan atas nama penegakan hukum demi menyelamatkan NKRI.
Baru-baru saja kita diingatkan kembali pada kejadian yang sama pada beberapa
tahun sebelumnya yang cukup menyita perhatian publik yakni Cicak vs Buaya (KPK
vs POLRI), dan kini terjadi kembali
Cicak vs Buaya jilid II.
Cicak vs Buaya jilid II muncul berawal dari kejadian
penangkapan Bambang Widjojanto, salah satu wakil ketua KPK pada Jumat, 23
Januari dengan alsan telah melakukan tindak pidana mobilisasi saksi palsu pada
tahun 2010 silam.
Melihat kejadian yang sungguh mengagetkan seluruh
penjuru negeri ini, penulis, bahkan mungkin sebagian masayarakat melihat bahwa
kasus tersebut adalah bukan sebuah hal yang kebetulan, melainkan ada system “jual
beli” atau balas dendam yang ingin ditunjukkan oleh dua institusi ini. Ini bisa
kita lihat dari rentetan kejadian yang memanas antara KPK dengan POLRI beberapa
waktu lalu setelah KPK menetapkan calon tunggal POLRI Budi Gunawan ditetapkan
sebagai tersangka pada Selasa, 13 Januari lalu. Kemudian hal ini berimbas pada rentetan
kejadian yang menyerang KPK, mulai dari 30 intel dan anggota polisi yang
mendatangi KPK, munculnya foto mesra Abraham Samad dengan Putri Indonesia 2014,
penundaan pemilihan pimpinan KPK oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), gugatan
praperadilan oleh POLRI terkait penetapan Budi Gunawan, tuduhan Dendam Abraham
Samad kepada Budi Gunawan, dan berakhir pada penangkapan Bambang Widjojanto
oleh Bareskrim Mabes POLRI (sumber: Media
Nasional).
Bukan sebuah hal yang salah ketika masyarakat
beranggapan kasus KPK vs POLRI kali ini adalah motif balas dendam, mengingat
rentetan-rentetan kejadian yang muncul itu bisa disimpulkan sebuah kejadian
sebab akibat/kausalitas. Memang dalam beberapa media bahkan presiden RI Joko
Widodo sendiri mengatakan masayarakat tidak boleh terpengaruh oleh kasus
tersebut, namun hal yang sebaliknya dipertontonkan oleh POLRI sendiri akan
memancing emosi masyarakat. Misalnya saja dalam prosedur penangkapan Bambang Widjojanto
yang diborgol kedua tangannya layaknya seorang teroris atau penjahat kelas kakap.
Yang penulis soroti di sini bukan pada siapa yang
benar dan siapa yang salah, melainkan lebih kepada marwah dua institusi penegak
hukum negeri ini. Kejadian tersebut diatas jelas akan berdampak pada harga diri
Bangsa Indonesia itu sendiri, mengingat kasus yang mencuat seolah system balas
dendam dua institusi penegak hukum yang sangat dihargai, bahkan sama-sama
mempunyai tanggungjawab untuk menyelamatkan negeri. Apa jadinya ketika dua
institusi ini terlihat saling serang dan balas dendam, bahkan sampai kejadian
dua kali?, sungguh harga diri negeri ini akan menjadi guyonan oleh bangsa lain
yang menyaksikannya. Bahkan masyarakat Indonesia sendiri bisa jadi tidak akan lagi
menghargai dan menghormati dua institusi ini.
Yang penulis khawatirkan juga dampak ke depan bagi
negeri ini adalah keutuhan NKRI menjadi taruhannya, ini sungguh beralasan
pasalnya dua institusi yang berseteru sama-sama mempunyai “pendukung” dan
kewenangan yang luas untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Hal ini
akan menjadi buruk ketika dua institusi
tersebut saling melakukan “kriminalisasi” ketika disudutkan dengan membawa atas
nama penegakan hukum. Dan hal yang lebih buruk apabila kepercayaan masayarakat
dan dunia sudah hilang terhadap dua institusi tersebut, bukankah kehancuran dan
kekacauan akan menjadi taruhan negeri ini?, lantas siapakah yang
bertanggungjawab atas masalah ini?
Berbicara tanggungjawab memang tidaklah mudah,
berbicara siapa yang salah dan benar juga tidaklah segampang membalikkan
telapak tangan, namun yang harus kita yakini bersama bahwa ini adalah masalah
bersama yang menjadi tanggungjawab bersama pula untuk menyelamatkan dan
mempertahankan kesatuan NKRI. Peran semua pihak mulai dari masyarakat, media
dan pemerintah harus bersama-sama bersinergi dan mempunyai persepsi yang sama
bahwa keutuhan NKRI dan kesejahteraan negeri paling utama dan menjadi pilihan
bersama.
Masyarakat harus pandai menilai pemberitaan yang ada,
media pun harus betul-betul objektif dalam menyajikan berita, dan yang paling
penting pihak-pihak yang bertanggungjawab harus melaksanakan tugas sesuai
tanggungjawab dan prosedur yang berlaku. Dalam situasi saat ini terkait masalah
tersebut di atas memang peran yang paling penting saat ini adalah Presiden
Jokowidodo selaku Kepala Negara harus bertindak cepat dan tepat tanpa condong
ke salah satu pihak. “Interfensi” memang tidak perlu dilakukan, namun
keberadaan seorang kepala Negara sangat dibutuhkan untuk memediasi atau
memberikan jalan tengah terkait pertikaian yang ada tanpa menghilangkan hak dan
kewajiban institusi mapun individu sebagai warga Negara yang hak dan
kewajibannya dilindungi oleh Negara.
No comments:
Post a Comment
Nama:
Eamil: