Sebelum menyampaikan pemaparan dalam tulisan ini,
perlu penulis sampaikan kronologis dari munculnnya coretan retak tak bermakna
ini. Waktu itu penulis mengikuti tabligh akbar di sebuah masjid yang kebanyakan
jamaahnya memakai celana di atas mata kaki alias cungkrang, dan pada saat mengisi absen kehadiran, penulis dikasih
buku saku dengan cuma-cuma alias gratis tentang ibadah, judulnya Dzikir Pagi Petang dan Sesudah Sholat Fardhu
Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shalih, karya Yazid Bin Abdul Qadir
Jawas.
Dari penampilan luarnya, buku tersebut cukup menarik,
selain kecil (mudah dibawa ke mana-mana), buku tersebut juga menyajikan
dalil-dalil tentang dzikir. Pada awalnya di halaman-halaman bagian depan,
isinya cukup menarik bagi penulis yang notabeneya orang awam, namun di bagian
akhir ada beberapa dalil tentang dzikir (tidak
boleh menggunakan bijih tasbih) yang menurut penulis agak berbeda dengan sebagian
kelompok lain yang biasa menggunakan biji tasbih dalam berdzikir. Tulisan
tersebut diberi tema seputar kesalahan dalam shalat, dalam tulisan tersebut dikatakan
bahwa menghitung dzikir memakai biji tasbih itu tidak boleh, hal itu
dikarenakan sebuah perkara baru, tidak ada pada zaman Rosulullah SAW (Yazid bin
Abdul Qadir Jawas: 2005: 114). Padahal, dari konteks hadis yang dianjurkan Nabi tentang dzikir menggunakan jari-jari tangan tidak sampai pada taraf membid'ahkan orang.
Dari tulisan tersebut kelihatannya tidak ada masalah
yang fundamental, karena pada dasarnya tentang dzikir menggunakan biji tasbih pun
mempunyai dasar yang kuat, misalnya waktu itu Nabi SAW lewat di hadapan seorang sahabiyah
yang sedang bertasbih menggunakan batu-batu kecil dan Nabi tidak mengingkari
perbuatan tersebut (HR. Tarmizi, Thabrani, dan Ibnu Hibban). Namun jika dianalisa lebih jauh, menurut
penulis, tulisan tersebut mengandung tujuan dakwah yang janggal, pasalnya dari
beberapa perdebatan tentang ibadah yang sering muncul di permukaan (bid’ah kufarat dan tahayul), yang
menjadi subtansi permasalahan hanya seputar konteks ibadahnya saja, tidak
mengarah kepada cara atau media yang digunakan dalam beribadah. Namun, kini
persoalan yang tidak subtantif (bertentangan dengan syari’at) pun dipersoalkan
juga oleh sebagian kelompok lain yang sering membid’ahkan orang.
Ketika kita berbicara media/sarana ibadah yang
“memudahkan” dipersoalkan oleh sebagian kelompok lain, (katanya bid’ah, tidak
ada contoh dari Rasul dsb), maka kelompok yang “cenderung membid’ahkan (identik
dengan celana cungkrang) atau ada yang mengatakan kelompok wahabi (Syekh Idahram: 2011: 164) tersebut, tentunya harus fair
dalam mengkritisi persoalan agama. Seandainya dzikir menggunakan biji tasbih
disalahkan dengan alasan tidak ada pada zaman Rosulullah SAW, lantas apa
bedanya pula dengan cara mereka sendiri yang berdakwah menggunakan media/sarana
seperti pengeras suara, televisi, handphone, kendaraan bermotor dsb, yang pada
zaman Rosulullah SAW juga tidak ada dan tidak diperintahkan. Kalau dikaji
secara logis, dzikir menggunakan bijh tasbih tentunya akan memudahkan dalam
menghitung. Coba bayangkan saja seandainya menghitung dzikir sampai
ratusan/ribuan kali, tentunya kalau dihitung menggunakan jari bisa jadi akan
lupa dengan hitungannya tersebut, sementara pada sisi lain, kata ulama agama
itu tidak menyulitkan, dan bijih tasbih tersebut menjadi salah satu sarana
untuk memudahkan dalam beribadah. Menurut penulis, ini merupakan dua contoh
persoalan ibadah yang sama-sama menggunakan media/sarana sebagai caranya, namun
pihak yang suka mem-bid’ahkan tersebut cenderung subjektif dan tidak mau dirinya
dikatakan bid’ah dalam hal menggunakan sarana baru dalam berdakwah/ibadah.
Dari berbagai persoalan ibadah yang sering dilontarkan
oleh kaum wahabi tentang bid’ah dan semakin merajalela tersebut, penulis
berasumsi bahwa sejatinya dakwah mereka tidak murni untuk agama melainkan
kepentingan “kekuasaan” dengan cara memecah belah umat lewat agama. Ini penulis
simpulkan berdasarkan beberapa alasan, Pertama,
menurut Syekh Nurudin Albanjari, bid’ah bukan sebuah hukum dan kaum wahabi
tersebut dalam berbicara bid’ah tidak memakai neraca hukum yang ada dalam islam
:boleh, wajib, sunah, haram, dan makruh (lihat: Youtube: Bid’ah Bukan Hukum).
Ini mengindikasikan bahwa dibalik pemahaman tentang bid’ah yang tidak
kompherensif, mereka sudah berani menyalahkan orang dan menentukan keberadaan
ahli bid’ah di neraka, yang dapat memancing emosi seseorang karena ibadahnya
selalu disalahkan. Hal ini tentu jadi memunculkan tanda tanya besar, apakah
mereka betul-betul berdakwah sesuai Nabi?.
Kedua, dalam hal berdakwah,
mereka terlihat sangat membabi buta dan tidak lagi sehat, misalnya menyalahkan
ulama-ulama pendahulu yang berlainan dengan fahamnya, membid’ahkan orang
sementara dirinya tidak memahami bid’ah secara kompherensif serta dirinya pun
melakukan hal yang baru dalam berdakwah/ibadah. Ketiga, kalau dilihat dari perjalanan sejarah kemunculan wahabi,
faham tersebut tersebar luas dengan cara kekerasan dan menjadi alat kekuasaan
kerajaan Saudi Arabia waktu itu(Syeikh Idahram: 2011: 31).
Pada sisi lain juga ada yang mengatakan bahwa Faham
Wahabi muncul untuk menjadi bagian dari konspirasi Yahudi yang ingin menghancurkan
Islam dari dalam demi sebuah kekuasaan. Ini menjadi sebuah alasan karena ada
yang mengatakan bahwa Muhammad Ibn Abdul Wahab pernah berguru kepada seorang
orientalis islam yang merupakan ejen Yahudi di Basrah, namanya Syeikh Muhammad
al-Majmu’i. Setelah itu, Syeikh Muhammad al-Majmu’i merasuah Muhammad Ibn Abdul
Wahab dengan hadiah kawin mut’ah dua ejen Yahudi yang menyamar jadi muslim.
Untuk itu besar kemungkinan pola pikir Muhammad Ibn Abdul Wahab dipengaruhi
oleh Yahudi untuk kepentingannya, dan hari ini terlihat jelas bahwa dakwah Wahabi
tidak menjadikan islam itu rahmatan lil ‘alamiin atau semata-mata meluruskan
ajaran Nabi SAW, melainkan umat menjadi terpecah belah (Lihat: Youtube: Wahabi
Konspirasi Yahudi Menghancurkan Islam Dari Dalam).
No comments:
Post a Comment
Nama:
Eamil: