Dunia kampus merupakan laboratorium kader yang keberadaannya diharapkan
mampu menciptakan generasi bangsa yang tangguh dan berwawasan tinggi.
Intelektualitas dan nalar kritis serta idealisme menjadi jargon tersendiri dalam
kampus. Posisi mahasiswa yang berada pada tataran center class (pendorong kelas
bawah dan penekan golongan atas) tentunya diharapkan mampu mewarnai kondisi
social dengan coretan-coretan perubahan menuju peradaban yang lebih baik. Posisi
dan peran mahasiswa sebagai agen of change dan sosial kontrol menjadi harapan
tersendiri bagi masyarakat tertindas. Namun, harapan dan impian akan menjadi
berbeda ketika melihat realita yang kita hadapi sekarang, di mana persoalan sosial
semakin meningkat dan kompleks, sementara mahasiswa yang daiharapkan mampu
merubah keadaan malah seolah tutup mata
dan telinga membiarkan keadaan menjadi tontonan klasik yang menyakitkan.
Persoalan tersebut di atas memang hampir berlaku di dunia kampus
manapun, khususnya di kampus biru STAIS. Sebuah hal yang memprihatinkan di mana
kampus yang seharusnya menumbuhkan generasi-generasi kritis dan idealis malah
menjadi tempat berkumpulnya kaum-kaum apatis. Memang kultur di STAIS sendiri
sangat berbeda dengan yang lain, di mana mayoritas mahasiswanya tidak ansif. Namun
hal tersebut sebenarnya bukan sebuah persoalan yang besar ketika dari
masing-masing kepala ada sebuah kesadaran bahwa hidup ini bukan sendirian dan
tak mungkin sendirian serta tahu akan peran dan fungsinya sebagai mhasiswa.
Peran mahasiswa dalam kehidupan social memang sangat dibutuhkan sebagai
agen perubahan, namun peran mahasiswa kini dipertanyakan keberadaannya. Iklim
maupun dinamika kampus STAIS kian hari terlihat kian menurun. Hal ini bisa
dilihat dari aktifitas keseharian mahasiswa yang lebih banyak dihabiskan dengan
hal-hal yang pragmatis. Tentu ini perlu menjadi perhatian semua pihak agar
sama-sama sadar bahwa peran dan fungsi mahasiswa menetukan arah bangsa serta bangsa
dan generasinya adalah tanggungjawab kita bersama. Kita tidak bisa saling
menyalahkan siapa yang bertanggungjawab melainkan kita harus bersama-sama
bagaimana memperbaiki kondisi yang kita hadapi saat ini. Sering saya alami pada
fase-fase tahun ajaran baru, mahasiswa terlihat aktif dan ambisius untuk
mengikuti berbagai kegiatan. Tapi setelah kira-kira satu semester semangat yang
dulu menggebu-gebu hilang terkikis secara bertahap. Kuantitas dan kualitas
orang-orang yang terlibat dalam organisasi kian hari juga menurun bahkan nyaris
lenyap terseleksi alam. Berbeda dengan tahun 1978 (masa orde baru) gerakan
mahasiswa nyaris mati/terkebiri oleh tekanan kebijakan pemerintah tentang
Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKKBK), tapi saat ini
gerakan mahasiswa mati disaat ada ruang kebebasan penuh. Berbagai upaya
sebenarnya telah dilakukan untuk mencoba
mengajak mahasiswa aktif dan responsive terhadap keadaan, namun hasilnya tidak
sesuai harapan, mungkin karena cara pendekatan yang salah atau memang keadaan
yang memaksakan.
Sebuah momentum yang tepat di awal tahun ajaran baru (2013/2014) untuk merekonstruksi
gerakan melawan apatisme, di mana mahasiswa baru cenderung lebih reaktif dan
responsive terhadap hal-hal yang baru. Doktrinisasi ideology mahasiswa secepat
mungkin dilakukan untuk memberikan pemahaman tentang tanggungjawab, peran dan
fungsinya sebagai mahasiswa. Sebuah metode/pendekatan-pendekatan dengan cara
baru juga perlu dilakukan misalnya mencoba memberikan ruang partisipasif bagi mahasiswa
baru untuk menjadi bagian dari sebuah keluarga, memberikan akses kemudahan
dalam berbagi informasi, memberikan pelatihan-pelatihan tentang hal-hal yang
dibutuhkan mahasiswa baru (pembuatan makalah, kepengurusan KRS, diskursus
tentang mata kuliah dan sebagainya).
Sisi lain saat mahasiswa baru menemukan trend setternya dalam kampus, “sang
senior” perlu memberikan tauladan dan menunjukkan kredibilitasnya di depan
pengagum. Hal lain yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah menyuguhkan
kegiatan yang bermuatan hiburan sekaligus edukatif serta mengarahkan mahasiswa
disetiap obrolan santai untuk tahu dan peka terhadap persoalan sosial.
Organisasi kemahasiswaan juga perlu melakukan gerakan “radikal” yang melibatkan
pihak lembaga untuk melakukan “pemaksaan” terhadap mahasiswa agar aktif dan
kreatif serta peka terhadap persoalan sosial yang faktual. Dengan demikian
sangat dimungkinkan perlahan tapi pasti apatisme yang mengakar dalam tubuh
mahasiswa akan terkikis oleh sebuah keadaan yang mengikat.
thank's informasinya, maju terus..
ReplyDeletewww.kiostiket.com