Genderang perubahan wajah pendidikan Indonesia telah ditabuh. Hal ini ditandai dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang keberadaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI). Akhir-akhir ini berita tentang masalah ditutupnya RSBI/SBI senantiasa menghisasi media massa baik cetak maupun elektronik yang menuai reaksi dari berbagai pihak, ada yang mendukung dan ada juga yang menyayangkan. Hal ini juga mengundang perhatian kita semua masyarakat Indonesia untuk mengkritisi sebuah kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, khususnya dalam hal pendidikan.
Jika kita menelisik lebih jauh tentang ditutupnya RSBI/SBI, menurut saya itu sebuah langkah yang tepat, karena sekolah tersebut merupakan bagian dari liberalisasi pendidikan yang menimbulkan diskriminasi pendidikan. Munculnya RSBI/SBI merupakan bagian dari pengingkaran terhadap UUD 45 dan sumpah pemuda 1928, pasalnya dalam proses pembeajarannya menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar, bukan menggunakan bahasa pemersatu bangsa yang mampu mewujudkan kemerdekaan Indonesia yaitu bahasa Indonesia.
Kalau hal ini tetap dipertahankan bisa jadi lama-kelamaan secara turun temurun para generasi bangsa menganggap bahasa Inggris lah sebagai bahasa utama di Indonesia, bukan bahasa Indonesia. Selain itu, RSBI/SBI juga dapat menimbulkan dampak psikologis terhadap siswa karena sebagian siswa yang sekolah di RSBI/SBI menjadi sombong, merasa elit, dan sebaliknya orang yang sekolah di sekolahan biasa bisa jadi menjadi minder. Dilihat dari hal pembiayaan ini juga sangat diskriminatif karena sekolah yang berlabel RSBI/SBI akan dibantu dana habis-habisan oleh pemerintah untuk melengkapi sarana prasarana penunjang pendidikannya, sementara sekolah biasa, apalagi yang tertinggal dibiarkan merangkak untuk mempertahankan bahkan mengejar ketertinggalan dengan biaya seadanya. Contohnya sekolah-sekolah di daerah terpencil atau pinggiran keberadaan fisiknya terlihat sangat memprihatinkan, sementara jika dibandingkan dengan RSBI/SBI itu sangat jauh perbedaannya. Hal ini jika dibiarkan lama kelamaan akan menimbulkan kesenjangan pendidikan yang sangat luar biasa dan akibatnya akan membentuk jurang pemisah sosial yang sangat dalam.(sumber Tribun Kaltim edisi 10 Januari 2013).
Walaupun ada pro dan kontra, menurut saya setidaknya ada angin segar bagi wajah pendidikan Indonesia untuk senantiasa memperbaiki sistem pendidikan di bangsa ini. Kebijakan-kebijakan pembiayaan yang tadinya lebih terfokus untuk RSBI/SBI, bisa jadi sekarang telah terhenti/dibiayai secara proposional dan tidak menimbulkan diskriminasi lagi, dengan demikian, pemerataan pendidikan menjadi terlihat dan terasa. Pemerintah sekarang harus berpikir ulang dan bersikap adil seadil-adilnya dalam menyelenggarakan pendidikan, bahwa pendidikan untuk semua masyarakat secara merata, bukan untuk satu golongan saja. Dalam hal ini, pemerintah juga harus waspada akan munculnya praktik-praktik liberalisasi pendidikan dengan gaya baru. Misalnya sistem pendidikan dengan konsep RSBI/SBI hanya berganti nama/labelnya saja sementara praktek-praktek yang menimbulkan diskriminasi atau pengkotak-kotakan pendidikan tetap lenggang berjalan. Hal ini jika tidak diantisipasi dari dini tentunya akan menimbulkan masalah-masalah baru yang bisa menghambat perkembangan pendidikan di Indonesia.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah dalam hal ini harus lebih jeli dalam menyelenggarakan dan mengawasi pendidikan yang ada di tiap-tiap daerah. Seiring munculnya otonomi pendidikan dan amanat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di masing-masing daerah nantinya tidak dijadikan dasar bagi pemerintah daerah untuk membangun konsep-konsep pendidikan yang liberal, diskriminatif dan dikotomi seperti RSBI/SBI yang telah dihapuskan. Pemerintah daerah maupun pusat juga harus selektif dalam mengangkat dan mendistribusikan tenaga pendidik yang cerdas, kreatif dan kompetitif sampai ke daerah terpencil tanpa pilih kasih untuk memberikan kemajuanpendidikan secara merata. Dalam hal kebijakan, pemerintah juga mendorong atau memberi perhatian lebih kepada lembaga pendidikan yang tertinggal baik dari segi sarana prasarana maupun yang lainnya itu jauh lebih efektif dari pada membangun konsep pendidikan yang diskriminatif dan liberal.
Sumber: Berita Kampus & Sekolah
Tuesday, January 22, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Nama:
Eamil: