68 tahun sudah Indonesia “merdeka”, bebas dari penjajahan yang telah
berabad-abad mengekang kebebasan dan merampas kemerdekaan rakyat Indonesia.
Tentu kalau melihat sejarah tidaklah mudah bahkan beribu-ribu nyawa putra
pertiwi menjadi korban demi mewujudkan bangsa Indonesia yang adil, makmur, dan
sejahtera. Hal ini bisa dilihat dari referensi-referensi sejarah, betapa berat
dan besarnya pengorbanan para founthing father dan pahlawan-pahalawan yang
dengan ikhlas mereka mengorbankan segalanya tanpa meminta imbalan apapun
kecuali menginginkan terwujudnya bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera.
Memang kalau melihat perjalanan panjang Indonesia setelah proklamasi
kemerdekaan tentu banyak dinamika yang mewarnainya, yang hingga kini masih menjadi
perdebatan tentang makna kemerdekaan tersebut, ada yang mengatakan sudah
merdeka, dan sebagian lagi ada yang mengatakan belum merdeka dengan berbagai
alasan. Jika dikaitkan dengan ucapan sang proklamator (Soekarno) bahwa perang yang
lebih berat adalah perang melawan bangsanya sendiri, begitu juga dengan uacapan
tokoh nomor satu dunia (Nabi Muhammad saw) setelah perang badar yang mengatakan
“perang yang lebih berat lagi adalah perang melawan hawa nafsu” tentu ini
sangat relevan.
Memang bukan sebuah ucapan yang tanpa makna apa yang dikatakan oleh Nabi
saw maupun Soekarno, pasalnya apa yang diucapkannya dialami oleh bangsa
Indonesia sampai saat ini. Berpuluh-puluh tahun Indonesia senantiasa mewujudkan
kemerdekaan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, yakni bisa
hidup dengan adil, makmur, dan sejahtera seperti yang termaktub dalam UUD
maupun Pancasila, namun sampai saat ini belum terwujud sepenuhnya. Indikasi ini
bisa dilihat dari berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dan tak
kunjung selesai. Misalnya meningkatnya angka kenakalan remaja, merajalelanya
pengguna narkoba, banyaknya kasus korupsi yang menggurita, terorisme yang
semakin mengakar, penegakan hukum yang lemah,
kemiskinan yang merata dan banyak persoalan-persoalan lain yang
senantiasa menghiasi pedihnya hidup dalam bangsa yang katanya “merdeka”.
Tidak salah memang ketika ada orang yang memperdebatkan soal kemerdekaan
Indonesia dengan persepsi dan alasan yang berbeda-beda karena kalau melihat
kenyataan apa yang terjadi di Indonesia saat ini masih jauh dari cita-ciat UUD
1945. Berbagai sistem pemerintahan/pembangunan yang diterapkan dari masa ke
masa ternyata belum mampu mewujudkan harapan rakyat Indonesia, yang terjadi
malah sebaliknya, sebagian pengemban amanah/pejabat publik memanfaatkan
kesempatan dalam singga sana kenyamanan demi kepentingan kelompok/golongan. Para
wakil rakyat saling berkelahi dan adu kepentingan dengan alasan atas nama rakyat
serta banyak episode-episode lain yang menarik untuk dimasukkan dalam
karung-karung sampah social.
Sebagai sebuah bangsa yang besar, Indonesia tentu membutuhkan energi,
tenaga dan pikiran yang cukup besar untuk merubah Indonesia menjadi lebih
makmur, adil dan sejahtera. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut tentu diperlukan
pemimpin-pemimpin yang punya integritas, kapabilitas, mental dan moral yang
kuat. Pendekatan-pendekatan teori pembangunan yang selaras dan sesuai
kultur/karakter bangsa juga perlu dilakukan dan senantiasa dievaluasi. Menurut Koentjaningrat
misalnya konsep modernisasi yang diterapkan belum terlalu cocok untuk di
Indonesia (Koentjaraningrat (1997). Begitu juga dengan teori dependensi masih
mempunyai banyak kekurangan (Suwarsono-So, 1991: 137). Dalam kajian yang
dilakukan Arief dan Sasono khususnya pada masa orde baru menyimpulkan Indonesia
sedang mengarah ke situasi ketergantungan (Arief-Sasono, 1991: 134). Hal ini
bisa dilihat dengan situasi kondisi Indonesia saat ini yang sering tergantung
dengan pihak luar negri (kebutuhan sembako yang serba import).
Apapun teori pembangunan yang diterapkan dan berbagai jenis pendekatan,
yang dibutuhkan Indonesia menurut penulis adalah sosok-sosok pemimpin cerdas, mempunyai
integritas tinggi, moral dan mental yang kuat, yang mempunyai visi kemandirian
bangsa (not depend on foreign parties).
Seperti yang dikatakan oleh Bung Karno dengan “Berdikari” atau berdiri di kaki
sendiri dan tidak mengharapkan bantuan Negara kapitalis ada benarnya. Kenyataan
membuktikan bahwa hubungan yang berlebihan dengan Negara-negara kapitalis
banyak merugikan. Hal ini perlu menjadi acuan karena
kemajuan bangsa dilihat dari sejauh mana perkembangan masyarakat secara mandiri.
Menurut David Mc Clelland tentang the
need for achievement, tingkat perkembangan masyarakat bisa diukur dari
besarnya dorongan untuk berprestasi dalam masyarakat itu sendiri. Itulah
sebabnya kebersamaan dan kesadaran dari seluruh elemen anak bangsa perlu
diperkuat dan disinergikan sebagai amunisi dalam membangun bangsa menuju
cita-cita amanah UUD 45 dan akhirnya sampailah pada kemerdekaan Indonesia yang
sesungguhnya.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete