Hukum Ini Untuk Siapa? - PERANTAU

Breaking

 


Saturday, March 14, 2015

Hukum Ini Untuk Siapa?

Kalau kita mendengar kata-kata hukum, mungkin dulu kita akan merasa ngeri dengan detuk jantung yang makin menguat, namun, saat ini kalau kita mendengar kata-kata hukum, kita akan merasa biasa saja, bahkan hukum itu ibarat mainan anak-anak yang bisa dimainkan seenaknya saja oleh pemiliknya. Betapa tidak, sudah beberapa kali bangsa Indonesia disajikan kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum yang mengundang banyak tanya, mulai dari penegakan hukum yang dirasa tebang pilih, hukum hanya milik orang miskin, ketimpangan dalam hal pelayanan terhadap terpidana, kasus jual beli hukum dan sebagainya.

Lihat saja akhir-akhir ini bangsa Indonesia (bangsa yang katanya ramah, humanis) disuguhi kasus seorang nenek tua yang dipaksa menginap di hotel prodeo gara-gara didakwa melakukan pencurian kayu sebanyak 7 batang. Bahkan ironisnya, dakwaan jaksa menjerat nenek Asyani dengan Pasal 12 junto Pasal 83 Undang-Undang (UU) Tahun 2013 tentang Illegal Logging dengan ancaman 5 tahun penjara. Dan bukan sebuah hal yang baru ketika orang miskin bersentuhan dengan hukum (terkena kasus pelanggaran hukum) ia akan dipenjarakan.

Mari kita lihat lembaran-lembaran suram potret hukum di Indonesia yang tumpul ke atas dan runcing ke bawah. Kita masih ingat kasus sandal jepit, atau kasus pencuri kakao? Ya, tentu telinga kita bagi masyarakat miskin tidak bisa lupa dengan kejadian tersebut karena khawatir dirinya juga bisa bernasib sama. Nenek Minah, seorang nenek miskin yang dijatuhi hukuman selama 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Dia dinyatakan bersalah karena memetik 3 buah kakao yang harganya tidak lebih dari Rp 10.000. Gara-gara kejadian tersebut, akhirnya Nenek Minah tersandung kasus hukum dan terpaksa mencicipi pengapnya ruang tahanan. Lalu kasus seorang siswa SMK yang dipenjara 5 tahun karena mencuri sandal jepit milik seorang BRIPTU.

Kemudian kita bandingkan dengan orang-orang berduit atau “mempunyai kuasa” yang tersandung kasus hukum. Misalnya saja kasus pelanggaran hukum yang menimpa anak seorang menteri Hatta Rajasa waktu itu, dia lepas begitu saja seolah-olah telah tidak melakukan pelanggaran hukum, padahal dalam dakwaannya dia telah melanggar pasal 283, 287, 310 Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2007, dengan ancaman 6 tahun penjara. Namun yang terjadi malah sebaliknya anak sang menteri tersebut tidak dipenjara dengan alasan trauma dan keluarganya memberikan jaminan anaknya akan kooperatif. Kemudian beberapa waktu sebelumnya, kasus Gayus Tambunan yang dengan bebas bisa jalan-jalan ke luar kota, padahal dia didakwa melakukan tindakan merugikan Negara sebesar Rp 124 M. Tentu kita juga belum lupa akan mewahnya fasilitas penjara Artalyta Suryani, seorang terdakwa kasus penyuapan  jaksa terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar 660.000 dolar AS.

Memang bagaimanapun kasus pencurian baik itu kecil maupun besar atau pelanggaran hukum lainnya merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa hukum juga memiliki asas kemanusiaan seperti pada UU NO 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mensyaratkan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan  asas kemanusiaan. Sangat miris ketika mendengar seorang nenek tua renta harus berurusan dengan hukum gara-gara 3 buah kakao atau kasus nenek Asyani bernasib sama gara-gara 7 batang kayu jati, sungguh tidak adil bukan?.

Tidak bisa dielakkan bahwa kasus-kasus tersebut memperlihatkan dengan jelas hukum di Indonesia belum bisa berdiri tegak. Hukum di Indonesia bagai pisau yang tumpul di atas namun tajam di bawah. Ketika orang yang terlibat adalah orang berpangkat atau banyak pundi-pundi uang, maka bisa dipastikan dia akan aman dari tuntutan hukum, namun sebaliknya ketika orang yang tersandung kasus hukum adalah rakyat biasa, maka hukum seakan berdiri tegak dan bertindak seadil-adilnya.

Memang Indonesia merupakan negara hukum, hal ini diisyaratkan dengan jelas pada pasal 27 ayat 1, bahwa semua warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Baik dia orang kaya, miskin, anak pejabat tinggi ataupun petani, dia orang melarat ataupun  konglomerat, ketika mereka melakukan kesalahan, maka mereka sama-sama bertanggungjawab seadil-adilnya di mata hukum tanpa pengecualian. Namun yang terjadi hari ini adalah aturan perundang-undangan yang ada seolah hanya menjadi manuskrip karya-karya wakil rakyat yang tidak berguna bagi para konglomerat atau pejabat. Padahal jelas kalau kita berbicara perlakuan hukum, pasal 28 ayat 1 UU 1945 juga jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di mata hukum.

Kalau berkaca dari kasus yang sangat diskriminatif di atas, maka ada kemungkinan hukum berlaku deskriminatif untuk orang-orang miskin, yang akhirnya melumpuhkan naluri kemanusiaan para penegak hukum ataupun orang yang melek hukum dan mempunyai kapasitas di bidangnya. Pasal 28 ayat 2 yang menyatakan setiap orang berhak bebas dari perlakuan deskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif hanya menjadi dongeng surga bagi warga miskin dan sebaliknya menjadi angin syurga bagi yang mampu “membelinya”. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah hukum ini milik siapa?

Seandainya Indonesia ini benar-benar dikatakan sebagai Negara hukum dan konsisten melaksanakan amanah UUD 1945 khusunya masalah hukum, maka apapun latar belakang pelanggar hukum maka harus ditindak tegas. Untuk mewujudkan hal ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan antara laian:



Pertama melakukan perombakan birokrasi institusi secara berani dan transparan agar orang-orang yang menempati posisi strategis di bidang hukum betul-betul orang yang mempunyai integritas dan moralitas tinggi. Kedua orang-orang yang tahu hukum dan mempunyai kewenangan untuk itu, misalnya persatuan advokat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan semacamnya ketika melihat seperti halnya kasus nenek Minah ataupun nenek Arsyani yang sangat kontradiktif dengan kasus anak menteri atau gayus tambunan dan artalyta, maka LBH atau semacamnya harus ikut mengambil bagian untuk mengawal kasus-kasus orang miskin agar mendapatkan hak yang sama di mata hukum. Ketiga, peran media juga sangat dibutuhkan untuk mengontrol kebijakan-kebijakan yang memunculkan persoalan. Berkaitan dengan kasus-kasus ketimpangan penegakan hukum, media diharapkan terus menerus mengangkat permasalahan yang ada ke permukaan seobjektif mungkin agar masyarakat tahu betapa lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Dan dengan media tersebut pula, paling tidak dapat mempengaruhi orang lain untuk simpati terhadap kasus-kasus yang menimpa orang miskin dan tidak mampu berbuat apa-apa di depan hukum. Keempat gerakan social secara kolektif oleh seluruh lapisan masyarakat, misalnya membuat petisi melalui media social dan sebagainy pun dapat dilakukan sebagai control sosiala. Akhirnya, penulis berharap kasus-kasus lemahnya supremasi hukum tidak muncul lagi di bumi tercinta ini yang dengan lantang dan tegas mengatakan Indonesia adalah Negara hukum. 
tulisan ini telah terbit di Kaltim Post

3 comments:

  1. Hukum adalah pedang, jika begitu masalahnya jangan tanya pada pedangx. Tetapi pada orang yang diamanahi pedang tersebut.

    ReplyDelete
  2. Lucunya, kalau hukum untuk orang miskin, hakim untuk orang kaya..hehe

    ReplyDelete
  3. Selamat datang di Negeri wkwkwkwWk Land

    ReplyDelete

Nama:
Eamil: