Bayang-Bayang Yahudi Dibalik Dakwah Wahabi - PERANTAU

Breaking

 


Monday, December 15, 2014

Bayang-Bayang Yahudi Dibalik Dakwah Wahabi


Sebelum menyampaikan pemaparan dalam tulisan ini, perlu penulis sampaikan kronologis dari munculnnya coretan retak tak bermakna ini. Waktu itu penulis mengikuti tabligh akbar di sebuah masjid yang kebanyakan jamaahnya memakai celana di atas mata kaki alias cungkrang, dan pada saat mengisi absen kehadiran, penulis dikasih buku saku dengan cuma-cuma alias gratis tentang ibadah, judulnya Dzikir Pagi Petang dan Sesudah Sholat Fardhu Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shalih, karya Yazid Bin Abdul Qadir Jawas.

Dari penampilan luarnya, buku tersebut cukup menarik, selain kecil (mudah dibawa ke mana-mana), buku tersebut juga menyajikan dalil-dalil tentang dzikir. Pada awalnya di halaman-halaman bagian depan, isinya cukup menarik bagi penulis yang notabeneya orang awam, namun di bagian akhir ada beberapa dalil tentang dzikir (tidak boleh menggunakan bijih tasbih) yang menurut penulis agak berbeda dengan sebagian kelompok lain yang biasa menggunakan biji tasbih dalam berdzikir. Tulisan tersebut diberi tema seputar kesalahan dalam shalat, dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa menghitung dzikir memakai biji tasbih itu tidak boleh, hal itu dikarenakan sebuah perkara baru, tidak ada pada zaman Rosulullah SAW (Yazid bin Abdul Qadir Jawas: 2005: 114). Padahal, dari konteks hadis yang dianjurkan Nabi tentang dzikir menggunakan jari-jari tangan tidak sampai pada taraf membid'ahkan orang.

Dari tulisan tersebut kelihatannya tidak ada masalah yang fundamental, karena pada dasarnya tentang dzikir menggunakan biji tasbih pun mempunyai dasar yang kuat, misalnya waktu itu  Nabi SAW lewat di hadapan seorang sahabiyah yang sedang bertasbih menggunakan batu-batu kecil dan Nabi tidak mengingkari perbuatan tersebut (HR. Tarmizi, Thabrani, dan Ibnu Hibban).  Namun jika dianalisa lebih jauh, menurut penulis, tulisan tersebut mengandung tujuan dakwah yang janggal, pasalnya dari beberapa perdebatan tentang ibadah yang sering muncul di permukaan (bid’ah kufarat dan tahayul), yang menjadi subtansi permasalahan hanya seputar konteks ibadahnya saja, tidak mengarah kepada cara atau media yang digunakan dalam beribadah. Namun, kini persoalan yang tidak subtantif (bertentangan dengan syari’at) pun dipersoalkan juga oleh sebagian kelompok lain yang sering membid’ahkan orang.

Ketika kita berbicara media/sarana ibadah yang “memudahkan” dipersoalkan oleh sebagian kelompok lain, (katanya bid’ah, tidak ada contoh dari Rasul dsb), maka kelompok yang “cenderung membid’ahkan (identik dengan celana cungkrang) atau ada yang mengatakan  kelompok wahabi (Syekh Idahram: 2011: 164) tersebut, tentunya harus fair dalam mengkritisi persoalan agama. Seandainya dzikir menggunakan biji tasbih disalahkan dengan alasan tidak ada pada zaman Rosulullah SAW, lantas apa bedanya pula dengan cara mereka sendiri yang berdakwah menggunakan media/sarana seperti pengeras suara, televisi, handphone, kendaraan bermotor dsb, yang pada zaman Rosulullah SAW juga tidak ada dan tidak diperintahkan. Kalau dikaji secara logis, dzikir menggunakan bijh tasbih tentunya akan memudahkan dalam menghitung. Coba bayangkan saja seandainya menghitung dzikir sampai ratusan/ribuan kali, tentunya kalau dihitung menggunakan jari bisa jadi akan lupa dengan hitungannya tersebut, sementara pada sisi lain, kata ulama agama itu tidak menyulitkan, dan bijih tasbih tersebut menjadi salah satu sarana untuk memudahkan dalam beribadah. Menurut penulis, ini merupakan dua contoh persoalan ibadah yang sama-sama menggunakan media/sarana sebagai caranya, namun pihak yang suka mem-bid’ahkan tersebut cenderung subjektif dan tidak mau dirinya dikatakan bid’ah dalam hal menggunakan sarana baru dalam berdakwah/ibadah.

Dari berbagai persoalan ibadah yang sering dilontarkan oleh kaum wahabi tentang bid’ah dan semakin merajalela tersebut, penulis berasumsi bahwa sejatinya dakwah mereka tidak murni untuk agama melainkan kepentingan “kekuasaan” dengan cara memecah belah umat lewat agama. Ini penulis simpulkan berdasarkan beberapa alasan, Pertama, menurut Syekh Nurudin Albanjari, bid’ah bukan sebuah hukum dan kaum wahabi tersebut dalam berbicara bid’ah tidak memakai neraca hukum yang ada dalam islam :boleh, wajib, sunah, haram, dan makruh (lihat: Youtube: Bid’ah Bukan Hukum). Ini mengindikasikan bahwa dibalik pemahaman tentang bid’ah yang tidak kompherensif, mereka sudah berani menyalahkan orang dan menentukan keberadaan ahli bid’ah di neraka, yang dapat memancing emosi seseorang karena ibadahnya selalu disalahkan. Hal ini tentu jadi memunculkan tanda tanya besar, apakah mereka betul-betul berdakwah sesuai Nabi?.  Kedua, dalam hal berdakwah, mereka terlihat sangat membabi buta dan tidak lagi sehat, misalnya menyalahkan ulama-ulama pendahulu yang berlainan dengan fahamnya, membid’ahkan orang sementara dirinya tidak memahami bid’ah secara kompherensif serta dirinya pun melakukan hal yang baru dalam berdakwah/ibadah. Ketiga, kalau dilihat dari perjalanan sejarah kemunculan wahabi, faham tersebut tersebar luas dengan cara kekerasan dan menjadi alat kekuasaan kerajaan Saudi Arabia waktu itu(Syeikh Idahram: 2011: 31). 

Pada sisi lain juga ada yang mengatakan bahwa Faham Wahabi muncul untuk menjadi bagian dari konspirasi Yahudi yang ingin menghancurkan Islam dari dalam demi sebuah kekuasaan. Ini menjadi sebuah alasan karena ada yang mengatakan bahwa Muhammad Ibn Abdul Wahab pernah berguru kepada seorang orientalis islam yang merupakan ejen Yahudi di Basrah, namanya Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Setelah itu, Syeikh Muhammad al-Majmu’i merasuah Muhammad Ibn Abdul Wahab dengan hadiah kawin mut’ah dua ejen Yahudi yang menyamar jadi muslim. Untuk itu besar kemungkinan pola pikir Muhammad Ibn Abdul Wahab dipengaruhi oleh Yahudi untuk kepentingannya, dan hari ini terlihat jelas bahwa dakwah Wahabi tidak menjadikan islam itu rahmatan lil ‘alamiin atau semata-mata meluruskan ajaran Nabi SAW, melainkan umat menjadi terpecah belah (Lihat: Youtube: Wahabi Konspirasi Yahudi Menghancurkan Islam Dari Dalam).

No comments:

Post a Comment

Nama:
Eamil: