Mimpi Sang Biduk Yang Terjawab - PERANTAU

Breaking

 


Tuesday, December 23, 2014

Mimpi Sang Biduk Yang Terjawab


Aku Sang Biduk, berdiri di tengah cita-cita yang mebumbung tinggi, hingga mungkin saking tingginya, seolah-olah  mimpi itu hanya sebuah bunga kehidupan karena keterbatasanku.  Aku Sang pemimpi kehidupan yang berlari kencang untuk mengejar sebuah cita-cita, namun asa itu seolah hanyalah sampah berharga yang mengotoriku, karena garis hidupku yang terlalu berat untuk sebuah cita-cita.
Betapa bahagianya orang-orang yang bisa melanjutkan kuliah, dengan almamater kebanggaannya dia bisa mengasah kemampuan dan mengembangkan bakat minatnya di sebuah Perguruan Tinggi. Kapan aku bisa mengikuti jejak-jejak mereka agar kelak aku menjadi orang yang pandai dan bermanfaat bagi Orang tua, Nusa, Bangsa dan Agama. Mungkin memang nasibku terlahir dari seorang petani yang harus banting tulang demi mempertahankan hidup, jangankan untuk berkembang, bisa bertahan hidup pun Alahmadulillah.

Tak tersadar lamunanku sudah melambung ke mana-mana, bak langit tak terlihat batasnya, bak lautan tanpa tepi, hingga aku terkaget saat Ibu memanggil Ku. “Nak, tolong ikat kangkung ini”. Enggih Bu, sahutku sambil menghempaskan nafas untuk lepas dari lamunan yang menyelimuti. Tak biasanya juga Ibu memberikan nasehat disaat petang merangsek, mungkin Ibuku tahu akan lamunanku, tiba-tiba, “Nak, kita harus prihatin seperti ini, tidak apa-apa banting tulang sampai petang begini di tengah sawah dengan kerumunan nyamuk yang menggigit tanpa belas kasihan, beruntung kita masih bisa mencukupi kebutuhan makan walaupun seadanya, coba lihat di luar sana, masih ada yang lebih menderita dari kita, betul kan?”, tambahnya. “Enggih Bu”, jawabku sambil mengangkat seikat besar kangkung yang akan dibawa ke pasar esok hari.

Setelah sampai di rumah, sembari makan malam bersama, Aku berbicara tentang keinginnku untuk melanjutkan kuliah. Dengan mulut seolah terkunci karena keadaan hidup yang tidak memungkinkan, Kupaksakan untuk berbicara dengan kedua orang tua. “Pppaak…, Bbuu…, mohon maaf, setelah lulus SMK nanti, Saya ingin melanjutkan kuliah, kira-kira menurut Bapak dan Ibu bagaimana?”, tanyaku sambil menikmati nikmatnya sepiring nasi berteman sayur kangkung dan sepotong tempe. “Ya bagus itu, tapi biayanya pake apa, kondisi kita masih seperti ini, tapi mudah-mudahan itu bisa tercapai Nak, Bapak dan Ibu akan berusaha dan berdoa semaksimal mungkin untuk cita-citamu itu”, jawab laki-laki yang sudah mulai renta sambil meneteskan air mata cita-cita anaknya.

Seusai makan malam, Aku langsung menuju ke kamar untuk merebahkan badan sambil menatap langit-langit rumah. Dalam sedikit melamun, tiba-tiba mimpi itu kembali datang. “Ya Allah, Engkau yang menciptakan kehidupan, Engkau pula yang memelihara. Engkau yang menggariskan mimpi dan cita-cita makhluk hidup, Engkau pula yang akan mewujudkan. Untuk itu ya Allah seandainya engkau berkehendak mimpiku jadi kenyataan, maka kabulkanlah mimpi ini”, batinku dalam kalutnya lamunan. “Treeett…treett…treettt….”, tiba-tiba suara hp butut ku berbunyi, pertanda ada panggilan masuk, ternyata kakak ku yang menelepon. “Asalamualaikum.., ada apa Kak?”, tanya ku, kebetulan yang telpon kakak ku yang selalu menyemangati cita-cita ku. “Katanya kamu pingin kuliah Dik, apa benar?”, tanyanya dengan nada seolah memberi harapan. “Iya Kak, tapi ga tahu bisa kesampaian atau tidak, kan kondisi kita begini kak”, jawab ku dengan nada pasrah. “Ya mudah-mudahan kesampaian Dik, kamu harus yakin, kami, kakak-kakak mu akan berusaha keras untuk membantu mewujudkan mimpimu”, jawabnya. “Ya udah kamu besok minta ijin ke Bapak dan Ibu utnuk daftar kuliah ya!!, imbuhnya. “Baik kak, terimakasih”, sahutku penuh harapan. “Ya Allah, mudah-mudahan ini pintu jalan yang memang engkau berikan kepada ku, apa yang menjadi impian ku tercapai”, gumam ku sembari terus menatap langit-langit rumah yang tidak mampu menjawab harapanku.

Keesokan harinya Aku pergi ke warnet untuk mencari informasi dan mendaftar lewat online. Beberapa hari kemudian, setelah mendaftar dan menadapatkan jadwal ujian seleksi, kemudian Aku pergi ke sebuah kampus yang jaraknya kurang lebih 70 km, kalau ditempuh dengan kendaraan bermotor kurang lebih memakan waktu 7 sampai 8 jam. Tepat pukul 15.00 wib, dengan motor butut yang larinya tidak kenceng lagi, tanpa ragu ku pacu kendaraan dengan hanya bermodalkan uang untuk bayar pendaftaran di sebuah Perguruan Tinggi terkenal di Semarang. Tanpa memperdulikan kondisi motor tuanya rusak/tidak, bisa makan atau tidak di pertengahan jalan, yang penting bisa daftar di kampus harapan. “Huuff….poknya Aku harus ke sana, ga tahu apa yang akan terjadi di jalan, yang penting bisa ikut ujian seleksi”, pikir ku karena saking bahagianya. Setelah beberapa jam perjalanan ternyata di tengah jalan hujan lebat, angin kencang berbalut petir yang menggelegar terus mengiringi perjalananku, tapi itu tidak menyulutkan semangat ku untuk berhenti/berteduh. 

Dengan kondisi badan yang mulai menggigil, Aku terus mencoba melanjutkan perjalanan, namun, mungkin karena derasnya hujan yang mengguyur badan letih ini, badan menjadi gemetar karena kedinginan dan mungkin perut belum terisi makanan, hingga akhirnya kondisi itu memaksaku untuk berteduh. Tanpa berpikir panjang, lagian juga sudah tengah malam dan karena tidak ada uang untuk bayar penginapan, Aku langsung cari masjid/mushola untuk tempat berteduh dan tidak lama kemudian kudapati tempat berteduh gratis tersebut. “Misi Pak, Saya mau numpang berteduh sekalian istirahat di masjid ini, boleh tidak Pak?”, tanyaku ke lelaki paruh baya yang menjaga masjid. “Silahkan saja De, tapi di terasnya aja, soalnya pintu ini mau ku kunci”, jawabnya sambil merapatkan pintu masjid. “Kalau di dalam bisa ngga ya Pak soalnya hujan deras ni?”, tanyaku kembali dengan menahan dingin yang menyelimuti. “Gak bisa De, paling di terasnya aja, jawabnya dengan nada ketus dan wajah kusam sambil beranjak meninggalkan masijid. “Ya udah Pak kalau gitu, terimakasih”, sahutku dengan nada kecewa.

Selepas penjaga masijid pergi, kemudian Aku rebahkan badan yang basah kuyup ini di teras masjid yang sangat sempit, sehingga separuh badan tetap terkena derasnya hujan. Dan dengan berselimut keset masjid yang juga basah kuyup, ku paksakan untuk tidur dan menghilangkan lelah yang memuncak. Tanpa terasa, tiba-tiba kokok ayam membangunkan tidur ku, dan itu pertanda fajar pagi telah muncul. “ Alhamdulillah ya Allah, dengan baju basah kuyup gini dan di bawah guyuran hujan ternyata Aku bisa tidur, rasa capeknya hilang, walaupun badan ini tetap menggigil”, gumam ku. 

Selepas sholat subuh, kemudian Aku melanjutkan perjalanan yang mungkin masih membutuhkan waktu 3 jam lagi. Namun, setelah sampai di tempat ujian, ternyata Aku ketinggalan beberapa mata pelajaran yang diujikan, hingga akhirnya hanya mengikuti ujian seleksi 2 mata pelajaran saja. “Aduuhh…ko bisa begini ya, mungkin kalau tadi malam tidak berteduh, pasti tidak ketinggalan ujian”, keluhku seraya menyesal. Selesai mengerjakan soal-soal ujian, dengan perasaan letih dan lapar karena dari kemarin belum terisi makanan, Aku langsung pacu motor butut untuk pulang. “Rasanya ga mungkin lolos di kampus ini, mata pelajarannya aja tidak bisa diikuti semua”, gumam ku sembari menelan kecewa yang mendalam.

Sesampai di rumah, Aku pun langsung menelepon kakak yang ada di perantauan, di pulau seberang. “Kak, Saya tadi ketinggalan ujian seleksi, kira-kira ge mana ya Kak?”, tanyaku dengan nada mengeluh. “Kok bisa Dik?, di kampus-kampus negeri sudah tutup semua, makannya lain kali diperitungkan dengan matang agar siap, dah jauh-jauh, sia-sia lagi. Ya udah besok kamu ku daftarkan ke kampus swasta di kota pelajar ya, jangan sampai telat lagi ujiannya nanti..!!!, jawab kakak ku dengan nada sedikit kecewa dan marah. “Iy Kak, jawabku singkat.

Seminggu berlalu menunggu kabar dari Kakak dengan harapan yang tinggi, akhirnya kabar baik pun menghampiri, katanya Aku lolos berkas dan lusanya ikut ujian seleksi di kampus swasta namun cukup terkenal. Dua hari setelah mendapat kabar, Aku pun berangkat menuju kampus itu, lagi-lagi dengan motor butut yang sepionnya pecah sebelah. Tiga hari kemudian setelah mengikuti ujian seleksi ternyata namaku muncul di website resmi kampus tersebut dan dinyatakan diterima. “Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah menjawab doa dan usaha ku serta orang-orang yang menyayangiku, mimpi dan harapan yang sulit digapai akhirnya dapat terwujud berkat Ridho Mu”, batinku dengan girang.

“Dengan begini, mau tidak mau Aku harus meninggalkan kampung halaman menuju kota pelajar”, pikirku dengan sedikit berat hati . Hari demi hari, minggu demi minggu akhirnya Aku jalani kehidupan dengan bertaruh nama baik dan masa depan, karena kehidupan di kota pelajar tersebut penuh dengan nuansa glamour dan hedonisme yang menjadi tantangan tersendiri bagiku, seorang anak desa miskin yang baru keluar dari bumi kelahiran. Tidak hanya itu, Aku pun harus bertahan hidup dengan kondisi seadanya, walaupun makan hanya dengan kecap, Aku harus mampu membuktikan untuk menjadi sang juara dalam kerasnya medan kehidupan serta harus menjadi sang surya yang mampu mengentaskan keluarga dari cengkeraman kemiskinan. Man-man, tugasmu yang kemarin dah selesai belum?”, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilku dan membangunkanku dari lamunan.

No comments:

Post a Comment

Nama:
Eamil: