REKONSTRUKSI GERAKAN MELAWAN APATISME DI DUNIA KAMPUS - PERANTAU

Breaking

 


Tuesday, September 3, 2013

REKONSTRUKSI GERAKAN MELAWAN APATISME DI DUNIA KAMPUS

Dunia kampus merupakan laboratorium kader yang keberadaannya diharapkan mampu menciptakan generasi bangsa yang tangguh dan berwawasan tinggi. Intelektualitas dan nalar kritis serta idealisme menjadi jargon tersendiri dalam kampus. Posisi mahasiswa yang berada pada tataran center class (pendorong kelas bawah dan penekan golongan atas) tentunya diharapkan mampu mewarnai kondisi social dengan coretan-coretan perubahan menuju peradaban yang lebih baik. Posisi dan peran mahasiswa sebagai agen of change dan sosial kontrol menjadi harapan tersendiri bagi masyarakat tertindas. Namun, harapan dan impian akan menjadi berbeda ketika melihat realita yang kita hadapi sekarang, di mana persoalan sosial semakin meningkat dan kompleks, sementara mahasiswa yang daiharapkan mampu merubah keadaan  malah seolah tutup mata dan telinga membiarkan keadaan menjadi tontonan klasik yang menyakitkan.
Persoalan tersebut di atas memang hampir berlaku di dunia kampus manapun, khususnya di kampus biru STAIS. Sebuah hal yang memprihatinkan di mana kampus yang seharusnya menumbuhkan generasi-generasi kritis dan idealis malah menjadi tempat berkumpulnya kaum-kaum apatis. Memang kultur di STAIS sendiri sangat berbeda dengan yang lain, di mana mayoritas mahasiswanya tidak ansif. Namun hal tersebut sebenarnya bukan sebuah persoalan yang besar ketika dari masing-masing kepala ada sebuah kesadaran bahwa hidup ini bukan sendirian dan tak mungkin sendirian serta tahu akan peran dan fungsinya sebagai mhasiswa.
Peran mahasiswa dalam kehidupan social memang sangat dibutuhkan sebagai agen perubahan, namun peran mahasiswa kini dipertanyakan keberadaannya. Iklim maupun dinamika kampus STAIS kian hari terlihat kian menurun. Hal ini bisa dilihat dari aktifitas keseharian mahasiswa yang lebih banyak dihabiskan dengan hal-hal yang pragmatis. Tentu ini perlu menjadi perhatian semua pihak agar sama-sama sadar bahwa peran dan fungsi mahasiswa menetukan arah bangsa serta bangsa dan generasinya adalah tanggungjawab kita bersama. Kita tidak bisa saling menyalahkan siapa yang bertanggungjawab melainkan kita harus bersama-sama bagaimana memperbaiki kondisi yang kita hadapi saat ini. Sering saya alami pada fase-fase tahun ajaran baru, mahasiswa terlihat aktif dan ambisius untuk mengikuti berbagai kegiatan. Tapi setelah kira-kira satu semester semangat yang dulu menggebu-gebu hilang terkikis secara bertahap. Kuantitas dan kualitas orang-orang yang terlibat dalam organisasi kian hari juga menurun bahkan nyaris lenyap terseleksi alam. Berbeda dengan tahun 1978 (masa orde baru) gerakan mahasiswa nyaris mati/terkebiri oleh tekanan kebijakan pemerintah tentang Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKKBK), tapi saat ini gerakan mahasiswa mati disaat ada ruang kebebasan penuh. Berbagai upaya sebenarnya  telah dilakukan untuk mencoba mengajak mahasiswa aktif dan responsive terhadap keadaan, namun hasilnya tidak sesuai harapan, mungkin karena cara pendekatan yang salah atau memang keadaan yang memaksakan.
Sebuah momentum yang tepat di awal tahun ajaran baru (2013/2014) untuk merekonstruksi gerakan melawan apatisme, di mana mahasiswa baru cenderung lebih reaktif dan responsive terhadap hal-hal yang baru. Doktrinisasi ideology mahasiswa secepat mungkin dilakukan untuk memberikan pemahaman tentang tanggungjawab, peran dan fungsinya sebagai mahasiswa. Sebuah metode/pendekatan-pendekatan dengan cara baru juga perlu dilakukan misalnya mencoba memberikan ruang partisipasif bagi mahasiswa baru untuk menjadi bagian dari sebuah keluarga, memberikan akses kemudahan dalam berbagi informasi, memberikan pelatihan-pelatihan tentang hal-hal yang dibutuhkan mahasiswa baru (pembuatan makalah, kepengurusan KRS, diskursus tentang mata kuliah dan sebagainya).

Sisi lain saat mahasiswa baru menemukan trend setternya dalam kampus, “sang senior” perlu memberikan tauladan dan menunjukkan kredibilitasnya di depan pengagum. Hal lain yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah menyuguhkan kegiatan yang bermuatan hiburan sekaligus edukatif serta mengarahkan mahasiswa disetiap obrolan santai untuk tahu dan peka terhadap persoalan sosial. Organisasi kemahasiswaan juga perlu melakukan gerakan “radikal” yang melibatkan pihak lembaga untuk melakukan “pemaksaan” terhadap mahasiswa agar aktif dan kreatif serta peka terhadap persoalan sosial yang faktual. Dengan demikian sangat dimungkinkan perlahan tapi pasti apatisme yang mengakar dalam tubuh mahasiswa akan terkikis oleh sebuah keadaan yang mengikat. 

1 comment:

Nama:
Eamil: