“SOE-HATTA” ALIANSI GERAKAN PEMBAHARU KUTAI TIMUR - PERANTAU

Breaking

 


Tuesday, August 6, 2013

“SOE-HATTA” ALIANSI GERAKAN PEMBAHARU KUTAI TIMUR

Titik Sejarah Gerakan
Sore itu tanggal 13 Mei 2013 pukul 15.00 wita, ada pertemuan organisasi dari berbagai elemen organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan yang diinisiasi oleh PMII, seperti HMI, GMNI, BEM STIPER, BEM STAIS, PEKUTIM, dan PENA serta berbagai tokoh masyarakat Kutim untuk membicarakan persoalan di Kutai Timur. bertempat di Sekretariat PMII di Jl Cendana no 3 Sangatta Utara Kutai Timur, Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk lebih khusus membahas persoalan banjir yang sering terjadi di Sangatta dan Kutai Timur pada umumnya. Setelah beberapa lama dialog dengan cukup alot, akhirnya dari berbagai sudut pandang dari masing-masing organisasi dapat disimpulkan bahwa banjir yang terjadi ini merupakan bagian dari gunung es permasalahan yang ada di Kutai Timur, sebuah permasalahan yang diakibatkan oleh berbagai faktor mulai dari pembangunan hingga faktor alam. Berbagai pendapat dan argumentasi dilontarkan mengenai penyebab banjir, antara lain karena dampak dari pertambangan, minimnya drainase,  pendangkalan sungai, penggundulan hutan, faktor alam dan sebagainya. Dari pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk melayangkan surat permohonan hearing dengan DPRD beserta SKPD-SKPD terkait untuk bersama-sama mendialogkan permasalahan banjir.
Ternyata niat baik gabungan organisasi tersebut untuk melakukan dialog kelihatannya tidak mendapatkan respons yang cukup positif, Ketua DPRD kelihatannya tidak menanggapi permohonan dengan serius bahkan terkesan menyepelekan, akhirnya gabungan organisasi tersebut melakukan rapat kembali yang ke tiga kali di sekretariat PMII untuk membicarakan tindakan selanjutnya, yang akhirnya muncullah ide gerakan untuk menyampaikan aspirasi di depan kantor Bupati.
Untuk mengkaji dan mematangkan ide/konsep, gabungan dari berbagai elemen organisasi tersebut melanjutkan rapat kembali di malam hari bertempat di STIPER. Sekitar 20 orang hadir dalam rapat tersebut dan dari berbagai dialog muncullah ide yang sangat mengikat emosianal gerakan dengan memberikan nama gerakan “SOE-HATTA”.
Gerakan Soe-Hatta dinamakan karena dibentuk di Jl Soekarno Hatta dan membawa misi-misi seperti yang diperjuangkan oleh Soekarno-Hatta yaitu misi social kemasyarakatan yang adil dan sejahtera. Dalam diskusi yang cukup lama akhirnya gerakan SOEHATTA menyepakati ada beberapa tuntutan, antara lain: 1). Mempertanyakan AMDAL dalam setiap pembangunan, 2). Menyelesaikan persoalan sengketa lahan yang belum urung selesai, 3). Melanjutkan pembangunan di dua kecamatan yang masuk dalam kawasan TNK, 4). Melakukan normalisasi drainase dan sungai Sangatta. 5) melanjutkan dan mempercepat pembangunan Jl Yos Sudarso. Hal itu menjadi tuntutan karena dirasa menjadi bagian dari penyebab banjir yang sering terjadi di Sangatta dan sekitarnya.
Setelah disepakati dan ditunjuk penanggungjawab, mulai dari korlap, negosiator, dan humas, akhirnya pada hari kamis tanggal 16 Mei 2013 Gerakan Soehatta menyampaikan aspirasi dengan sekitar 100 orang massa aksi untuk menyuarakan perubahan.
Pengkebiran Gerakan Soe-Hatta
Sebuah sejarah baru dan baru pertama kali ada gerakan dari aliansi berbagai organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan bergabung menjadi satu untuk menyuarakan perubahan ternyata mengundang perhatian dari berbagai pihak, baik masyarakat biasa, akademisi maupun pejabat pemerintahan. Tidak disangka-sangka setelah aksi pada tanggal 16 Mei 2013 ternyata muncul reaksi yang sangat berlebihan dari Pemerintah Kutai Timur dan koleganya karena aksi tersebut dirasa tidak konstruktif melainkan profokatif. Kepala Pemerintahan dan jajarannya kemudian mengundang civitas akademik STAIS dan STIPER dengan tiba-tiba untuk melakukan dialog dan silaturahmi menyikapi aksi gerakan mahasiswa (SoeHatta) tersebut. Tentu hal ini mengundang pertanyaan banyak pihak, kenapa Kepala Daerah mengagendakan kegiatan yang bertepatan dengan agenda dialog yang difasilitasi oleh DPRD dengan gabungan organisasi kepemudaan dan mahasiswa, dalam hal itu juga mengundang Bupati beserta SKPD-SKPD terkait, yang nyata-nyata surat undangan telah beredar beberapa hari sebelumnya.  
Ternyata sebuah pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya pasca adanya dialog yang dilakukan oleh pemerintah daerah beserta civitas akademik STAIS dan STIPER. Dalam dialognya, Kepala Daerah terkesan memberi tekanan kepada civitas akademik agar mahasiswanya tidak melakukan gerakan-gerakan yang dianggapnya telah menodai pendidikan dan kemurnian perjuangan. Bukan langkah solutif yang diambil oleh Kepala Daerah, melainkan langkah profokatif yang dilakukan untuk memberikan kesan bahwa Bupati dan jajarannya telah benar-benar melakukan pembangunan dengan maksimal, sementara mahasiswa telah melakukan kesalahan dengan dalih aksi yang anarkis dan penuh muatan politis. Bukan langkah edukatif yang diambil oleh Kepala Daerah melainkan langkah egois karena memunculkan sifat arogan yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang kepala daerah untuk membatasi kreativitas dan daya kritis mahasiswa. Akhirnya muncullah sebuah  cerita dalam perfilman ataupun drama pewayangan episode ke dua gaya kepemimpinan masa orde baru.
Kepala Daerah dan jajarannya menilai gerakan soehatta (mahasiswa) sudah tidak lagi murni melainkan ada tunggangan dari pihak-pihak lain yang tidak bertanggungjawab, mereka  menilai gerakan soehatta bertindak anarkis dan penuh hujatan dan muatan politis dalam menyampaikan aspirasi. Tidak salah memang ketika seorang Kepala Daerah dan jajarannya melakukan tindakan demi meredam gerakan ini, namun caranya yang terlihat tidak cerdas dalam menyikapi persoalan tersebut, malah yang terjadi kepala daerah seolah arogan dan memunculkan bibit-bibit baru kepemimpinan masa orde baru. Dengan dalih tersebut kepala daerah meminta agar Petinggi STAIS dan STIPER melakukan teguran bahkan skorsing kepada para mahasiswa yang telah melakukan demonstrasi. Apakah ini sebuah tindakan yang edukatif?, apakah ini sebuah tindakan yang solutif?, dan apakah ini sebuah tindakan yang layak dilakukan oleh seorang pemimpin?, tentu pertanyaan ini menjadi pertanyaan-pertanyaan yang menimbulkan banyak pertanyaan.
Sebagai saksi sejarah dalam aksi tersebut, penulis tidak melihat ada anarkisme yang dilakukan oleh demonstran, melainkan aparat yang telah melakukan kekerasan kepada beberapa orang aktifis, ada dua orang aktifis yang dihujani kepalan tangan berkali-kali dan tendangan dengan sepatu jatah dari hasil pajak masyarakat. Dan yang sangat menyedihkan sampai-sampai ada aktifis yang harus mendapatkan nafas bantuan akibat  pukulan dan tendangan oleh aparat keamanan, sementara kalau mahasiswa dinilai anarkis, tidak ada sama sekali bukti, misalnya adanya fasilitas publik yang dirusak, sang demonstran yang melakukan pemukulanSecara fair sebenarnya siapakah yang anarkis, aktifis ataukah aparat yang dengan entengnya melayangkan pukulan dan tendangan kepada para demonstran.
Memang sebuah hal yang wajar dan tidak asing lagi ketika ingin memperjuangkan hak-hak rakyat, memperjuangkan adanya perubahan pasti akan mendapatkan hambatan dan tantangan dari orang-orang yang merasa terusik dalam singga sana jabatan yang nyaman dan penuh kenikmatan. Banyak cerita-cerita sejarah yang menjadi contoh bahwa di setiap gerakan pasti ada hambatan dan pengkebiran, contoh saja misalnya Soekarno, Moh Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka pada saat penjajahan mereka selalu diasingkan dan dipenjarakan karena berkat perjuangannya sangat membahayakan kepentingan kelompok. Pada zaman orde baru misalnya, berapa banyak aktifis yang hilang tanpa jejak serta dipenjarakan seperti Budiman Sujat Miko, Sri Bintang Pamungkas, mahasiswa tri sakti yang ditembak mati dan sampai saat ini belum terungkap kasusnya sampai Mukhtar Papahan yang memperjuangkan hak-hak buruh harus dipenjarakan berkali-kali dengan dalih melanggar Undang-Undang.
Bukan sebuah cerita yang fiktif atau drama belaka jika hal itu terjadi di Kutai Timur, namun dengan nuansa cerita/sandiwara yang berbeda tapi subtansinya sama yakni pengkebiran gerakan mahasiswa. Berkali-kali media cetak lokal memberitakan gerakan mahasiswa Kutai Timur penuh ketimpangan dan tidak memberikan kritik yang solutif, melainkan gerakan yang ditunggangi kepentingan politik. Dengan sesumbar pemerintah menekan mahasiswa melalui petinggi-petinggi kampus dan mengusut orang-orang yang katanya mencemarkan nama baik nya untuk diproses melalui jalur hukum. Di sinilah kemudian yang menimbulkan dilema dan kegalauan bagi seluruh civitas akademik, disatu sisi mahasiswa dituntut untuk kritis dan idealis seperti yang diajarkan di bangku kuliah, tapi di sisi lain mahasiswa malah ditekan untuk diam membisu menonton ketidak adilan dan ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Petinggi akademik pun tidak bisa berbuat apa-apa, khususnya STIPER dan STAIS ketika dihadapkan persoalan tersebut karena hidup dan matinya proses pendidikan di dua lembaga tersebut berharap dari ketiak pemerintah daerah Kutai Timur, yang akhirnya  menuntut mereka untuk menentukan pilihan yang sangat merugikan mahasiswa. Selain terkena dampak psikologis, mahasiswa juga semakin bingung untuk melihat dan mengimplementasikan peran dan tanggung jawab besar yang diamanahkan ke pundaknya sebagai seorang “MAHA” siswa. Harapan besar masyarakat kepada sang  “MAHA” siswa akan perubahan pun semakin absurd bisa terwujud, lantas kepada siapakah masyarakat berharap adanya perubahan selain kepada sang agen perubahan yang identik dengan nalar kritis dan idealis?
Sang “Maha” siswa Menjadi Tumpuan Perubahan
Pertanyaan tersebut di atas tentu tidak akan pernah bisa terjawab sampai bumi dan isinya luluh lantah seandainya sang “MAHA” siswa hanya mampu duduk diam termangu menghentikan langkah ketika dihadapkan dengan kondisi seperti itu. Memang bukanlah hal yang mudah bagi aktifis-aktifis kampus untuk  bangkit dan terus melakukan gerakan demi mengawal pembangunan. Di satu sisi dia harus melawan perang psikologis yang datang menghadangnya, di sisi lain dia harus berjuang berat menyadarkan “MAHA” siswa yang apatis dengan kondisi sosial yang menghiasi buruknya pemandangan kehidupan. Harusnya ini menjadi PR bersama sebagai seorang yang mengaku “MAHA” siswa, yang harus mengamalkan Tri Darma Perguruan Tinggi.
Sebuah pepatah mengatakan semakin tinggi pohon maka akan semakin besar pula resiko tertiup angin, semakin tinggi iman seseorang, maka semakin berat pula ujian yang dihadapi, semakin besar kekuatan maka tidak menutup kemungkinan semakin besar pula hambatan dan tantangan yang harus dihadapi, dan itulah yang terjadi saat ini dengan gerakan “SOEHATTA” di Kutai Timur. Sebuah kondisi yang memprihatinkan ketika ada segelintir mahasiswa yang berani menyuarakan suara rakyat malah dikebiri dengan cara di kambing hitamkan, sementara sebagian besar mahasiswa yang apatis duduk diam sambil menertawakan ulah mahasiswa yang sedang berjuang untuk memberikan perubahan demi cita-cita bangsa Indonesia , Indonesia yang yang adil, makmur dan sejahtera.
Untuk sahabat-sahabtaku, sebagai seorang aktifis, janganlah kita layu dan mati hanya karena tekanan kepentingan kelompok, marilah kita bangkit menyatukan gerakan, menyatukan tekad, menyatukan tujuan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Yakinlah Sahabat-sahabtku, dengan kebersamaan, dengan keteguhan, dan dengan kemurnian hati kita akan mendapatkan kemenangan, kemenangan yang tidak dapat diukur dengan kemewahan, melainkan hanya dapat diukur dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Teruslah berjuang sahabatku..! Sekali bendera dikibarkan, hentikan ratapan dan tangisan, mundur satu langkah adalah sebuah bentuk pengkhianatan, tangan terkepal dan maju ke muka..!!! **Mukhtar


No comments:

Post a Comment

Nama:
Eamil: